Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Syahrir mengenyam pendidikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) di Medan karena ayahnya merupakan penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa disana.
Setelah dari MULO pada 1926, beliau masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung dan bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia. Ia juga mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) dalam memberikan pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di negeri Tulip tersebut Syahrir mendalami sosialisme dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Menuju Kemerdekaan Republik Indonesia
Syahrir dan para pemuda yang rata-rata adalah kader Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) mendesak Soeharto dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan pada 15 Agustus 1945 karena sudah mendengar kabar bahwa Jepang sudah menyerah melalui radio luar negeri.
Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Masa Revolusi Indonesia
Pada masa revolusi, Syahrir menulis sebuah pamflet Onze Strijd atau Perjuangan Kita yang mana menjelaskan peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II.
Tulisan-tulisan Syahrir pada pamflet tersebut sangat berseberangan dengan sosok Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”
Sikap yang keras namun memiliki perspektif masuk akal tersebut membuat Syahrir didukung oleh pemuda untuk menjadi formatur kabinet parlementer.
Perdana Menteri Syahrir
Syahrir mulai untuk memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri pada usia 36 tahun.
Pada 26 Juni 1946 di Surakarta, Syahrir diculik oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan Panglima besar Jendral sudirman.
Penculikan tersebut berhasil dihentikan oleh Soekarno lewat tangan Lt. Kol. Soeharto. Syahrir menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947.
The Smiling Diplomat
Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. 14 Agustus 1947, Syahrir berpidato di depan para wakil bangsa-bangsa dunia lewat sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, New York.
Syahrir mematahkan semua argumen perwakilan dari Belanda, Eelco van Kleffens, dan berhasil merebut kedudukan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Partai Sosialis Indonesia
Tahun 1948, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.
Dawn of The Smiling Diplomat
Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich, Swiss.
Syahrir akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966 dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Pada hari berkabung tersebut, Sutan Syahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.