Infosumbar.net – Rumah Gadang merupakan bangunan tradisional Minangkabau yang memiliki ciri khas atap melengkung yang tinggi dan berbentuk tanduk kerbau. Bangunan ini selain difungsikan sebagai tempat tinggal, juga dijadikan sebagai tempat musyawarah dan melangsungkan kegiatan adat, agama, keluarga, serta suku.
Namun, di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebuah gedung yang berbentuk Rumah Gadang dibangun dengan tujuan khusus, yaitu untuk mengabadikan peran ulama Minangkabau dalam menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Gedung milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel ini berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar. Bentuk bangunan yang menyerupai rumah bagonjong ini merupakan cara masyarakat Sulsel mengenang dan mengabadikan tiga ulama Minangkabau yang membawa syiar Islam ke Sulsel.
Hal itu dijelaskan oleh Pengurus Muhammadiyah Sulsel, Haidir Fitra Siagian. Ia mengisahkan, gedung ini sengaja dibuat menyerupai Rumah Gadang karena menjalankan amanah dari pemilik tanah, Mustamin Daeng Matutu (alm).
“Semasa hidupnya, beliau adalah tokoh senior masyarakat Bulukumba dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Beliaulah yang mewakafkan tanah ini ke Persyarikatan Muhammadiyah Sulsel awal tahun 1990an,” tulis Haidir.
Saat menyerahkan wakaf, Mustamin Daeng Matutu meminta secara khusus agar bangunan dibuat menyerupai rumah adat Minangkabau dengan tujuan mengenang jasa tiga ulama Minang yang membawa Islam ke Sulsel.
Ketiganya adalah Datuk ri Bandang (Abdul Makmur, Khatib Tunggal), Datuk ri Tiro (Abdul Jawad, Khatb Bungsu) dan Datuk ri Pattimang (Sulaiman, Khatib Sulung).
Ulama yang berasal dari Koto Tangah, Minangkabau ini datang menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak tahun 1593. Mereka berperan penting dalam menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang berada di Sulsel pada masa itu.
Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka sesuai keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya warga Bugis ketika itu.
Datuk Patimang yang pakar tentang tauhid melaksanakan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri Bandang yang pakar fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo sementara Datuk ri Tiro yang pakar tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba.
Seperti umumnya budaya dan tradisi warga nusantara pada masa itu, masyarakat Sulsel juga menganut kepercayaan animisme dan dinamisme yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah para dewa. Namun dengan pendekatan dan cara yang sesuai, syiar Islam yang disampaikan ketiga ulama itu dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya.
Berawal dari masuk Islamnya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islamnya raja Luwu yang bernama Datu’ La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, seluruh pejabat istana dan masyarakat menerima Islam setelah menempuh diskusi yang panjang dengan sang ulama.
Setelah itu, agama Islam menjadi agama kerajaan dan hukum-hukum Islam dijadikan sebagai sumber rujukan hukum bagi kerajaan.
Ketiga ulama ini hingga akhir hidupnya menetap dan dimakamkan di Sulsel. Makam Datuk ri Bandang berada di Jalan Sinassara, Kecamatan Tallo, Makassar. Datuk Pattimang wafat di Desa Pattimang, Luwu. Sementara pusara Datuk ri Tiro dapat dijumpai di Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba.
Masyarakat Bugis juga memberi gelar ketiganya dengan sebutan Datuk Tellue atau Datuk Tallua. Gelar ini diberikan sebagai penghormatan atas jasa ketiganya membawa Islam ke tanah Daeng. (rga)