Infosumbar.net – Di Nagari Sulik Aia Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Solok, terdapat sebuah rumah gadang yang memiliki ruang hingga 20.
Tepatnya, bangunan yang telah dibangun semenjak tahun 1820, yang berada di Jorong Silungkang Nagari Sulik Aia.
Sudah berumur lebih kurang 202 tahun semenjak bangunan ini pertamakali didirikan, Rumah Gadang ini telah masuk ke salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Solok, dengan nomor inventaris 03/BCB-TB/A/15/2007 di Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar.
Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id pada Minggu (4/12/2022), bangunan ini sempat terbakar dan didirikan kembali pada tahun 1901 dan selesai tahun 1907.
Dulunya, rumah gadang ini dapat dihuni hingga 300 orang. Mempunyai dua Datuak yang mengepalai kaumnya.
Pada bagian pangka dimiliki oleh Datuk Tamaruhun sedangkan bagian ujung dimiliki oleh Datuk Ampang Limo yang hingga sekarang dihuni oleh turunan datuk yang sama.
Sejak ditetapkan sebagai cagar budaya, rumah gadang ini sudah direnovasi dan ditunjuk seorang Jupel atau juru pelihara.
Refriadi (46), saat ini berperan sebagai Jupel dan saat ini tinggal di rumah gadang tersebut bersama istri dan dua orang anaknya.
Istinya, Suyatmi (44) mengatakan bahwa ia sekeluarga sudah tinggal selama dua tahun dirumah tersebut.
“Semenjak suami saya ditunjuk sebagai Jupel, saya sekeluarga bersama dua orang anak sekarang yang tingggal di rumah gadang ini,” katanya kepada Inforsumbar.
Sebelumnya, kata Suyatmi rumah gadang ini sempat dihuni oleh tiga keluarga lain sebelum akhirnya ditempati olehnya.
Pada tahun 2013, rumah gadang ini direnovasi hingga tahun 2015, dan tahun 2016 diresmikan kembali dengan biaya hingga Rp 1,5 M.
“Sebeum nya ada tiga keluarga yang tinggal di sini. Namun, saat renovasi yang dilakukan oleh pemerintah,BPCB minta rumah ini dikosongkan dulu agar renovasinya bisa lancar,” tuturnya.
Meskipun sempat terbakar, namun rumah ini tetap sama seperti dulu. Hanya saja, perbedaan tampak terlihat pada ukiran dinding dan atap rumah gadang.
“Kalau kata orang tua dulu rumah ini terbakar karena sekam. Masyarakat memasak dan menumbuk sekam padi di halaman rumah. Makanya konon, api menjalar hingga rumah terbakar,” ungkapnya.
“Semenjak rumah ini terbakar dan dibangun kembali tidak ada perbedaannya. Hanya saja dulu kan rumahnya disetiap dinding ada ukiran, sekarang polos dan atapnya dulu dari ijuk sekarang dari seng,” jelasnya.
Hingga saat ini, rumah gadang masih digunakan sebagai acara adat dan pemberian gelar kepada pihak marapulai yang telah menikah.
“Kalau ada anak kemenakan suku Limau Panjang yang menikah, pihak marapulai ketika malam akan diberika gelar disini dengan adatnya membantai kambing,” ucapnya.
Berdiri dengan 20 ruang rumah gadang ini disangga dengan 105 tiang dengan 43 tiang baru pasca renovasi.
Menurut Suyatmi, dinamakan 20 ruang karena saat itu dibangun oleh dua kecamatan yaitu X koto di atas dan X koto di bawah.
Bangunan rumah gadang 20 ruang memiliki luas 60,95 m x 9,34 m, dengan delapan buah gonjong dan empat pintu.
“Empat pintu dan jenjang yang ada di rumah gadang ini menandakan empat suku yang ada di Nagari Sulik Aia yaitu Limo Panjang, Limo Singkek, Simabur dan Piliang,” katanya.
Ruang utama pada bangunan ini dibarkan terbuka tanpa pembatas, hanya pada bagian tengah berjejer tiang yang saling berhadapan. Pembatas hanya untuk pembatas bilik atau kamar yang berjumlah 20 buah kamar.
Kamar tidur atau bilik yang berjumlah 20 buah, tiap bilik berukuran 2 x 2,5 meter yang bagian depan terdapat pintu masuk yang mempunyai daun pintu berbentuk setangkup.
Kemudian, dapur rumah gadang ini terletak dihalaman rumah yang digunakan untuk memasak secara bersama-sama atau gotong royong.
“Dapurnya memang terletak terpisah di bawah, biasanya digunakan untuk masak bersama-sama,” sebutnya.
Akan tetapi, akibat pandemi Covid-19, Suyatmi menerangkan jumlah pengunjung rumah gadang 20 ruang menurun.
“Akibat pandemi covid-19 jumlah pengunjung menurun dibandingkan sebelumnya yang sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara,” tutupnya. (Ayi)