Muhammad Jamil belajar di Makkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia telah memperoleh tiga ijazah dari tiga orang ulama besar di Makkah pada zaman itu, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar madzhab Syafi’i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar madzhab Maliki), dan Syeikh Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali).
Setelah bermukim 10 tahun lamanya di Makkah, ia memutuskan untuk kembali ke Padang Panjang. Sekembalinya dari tanah suci, Syeikh Jamil Jaho menjadi ulama terkenal dan disegani karena kedalaman ilmunya dan kesolehan pribadinya. Beliau mengajar di Jaho dan di beberapa daerah di Minangkabau.
Menolak ijtihad
Di kalangan ulama Minang pada masa itu, Syeikh Jamil Jaho termasuk ulama yang berpaham pembaharu, namun menolak pola ijtihad yang selama ini didengung-dengungkan, sekaligus bersikap menerima taqlid kepada ulama-ulama terdahulu. Sebuah cara berpikir yang bertolak belakang dengan trend berpikir yang digandrungi oleh ulama muda di masa itu.
Pada tahun 1922, bersama-sama Syeikh Sulaiman ar-Rusuli dan Syeikh Abdul Karim Amrullah, beliau mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau dan perguruan Islam Thawalib. Di kampung halamannya Jaho, pada tahun 1924 ia mendirikan surau dan membuka halaqah pengajian. Muridnya beragam yang datang. Ada dari Aceh, Jambi, Sumatra Utara, dan Lampung.
Halaqah yang didirikannya ini kelak berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho, setelah bergabung dengan Syeikh Sulaiman ar-Rusuli. Menurut Akhria Nazwar dalam bukunya Syeikh Ahmad Khatib (1983), kedua tokoh ini sepaham dalam menolak ijtihad dan menolak meninggalkan taqlid pada ulama. Namun dalam soal tarekat keduanya berbeda paham.
bersambung ke halaman selanjutnya