Infosumbar.net- Berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan oleh tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sumbar kehilangan 27.447 ha atau 1,5 persen hutan sepanjang tahun 2022 total luasan tutupan hutan 1.744.549 hektare pada tahun 2021.
Penurunan tutupan hutan disebabkan oleh banyak faktor diantaranya karena pembukaan lahan perladangan dalam skala kecil di banyak tempat. Selain itu juga ada indikasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan seperti untuk pertambangan emas tanpa izin.
Aktivitas illegal itu seperti Pertambangan Emas Ilegal (PETI). Ilegaloging ini terpantau di Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Solok 1.330 hektare, Solok Selatan 2.939 hektare dan Sijunjung 1.174 hektare.
Wakil Direktur KKI Warsi Rainal Daus mengatakan, tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan produksi, dan hutan lindung.
“Perlu adanya komitmen yang kuat untuk menanggulangi tindakan ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan diperlukan komitmen pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk memulihkan hutan dan menahan laju deforestasi,” katanya, Jumat (23/12/2022).
Menurutnya, hutan sejatinya bukan hanya tegakan kayu. Pengembangan ekonomi bisa berjalan tanpa merusak hutan. Kemudian hutan juga merupakan potensi yang sumber daya alam yang bisa bernilai ekonomi tinggi, karena banyak ragam jasa lingkungan yang bernilai ekonomi.
“Ada imbal jasa karbon di hutan alam, fundraising melalui program adopsi pohon, ekowisata, imbal jasa air, pengembangan commodity agroforest, produk kompos dan madu,” tuturnya.
Ditabahkannya, pengembangan potensi ini akan mendukung kehidupan masyarakat nagari di Sumatera Barat. Berdasarkan data BPS tahun 2020 terdapat 950 nagari yang berada dalam kawasan hutan, dengan rincian 365 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung dan 280 nagari di hutan produksi.
“Artinya, masyarakat Sumbar tidak lepas dari hutan dan menggantungkan hidup pada hutan. Namun, perlu adanya perubahan pandangan di masyarakat. Jika selama ini masyarakat melihat hutan untuk dijadikan kebun, bisa dengan pengelolaan hutan secara modern melalui pengembangan imbal jasa lingkungan atau Payment for ecosystem,” jelasnya.
Tutupan hutan menumbuhkan ekonomi
Menjaga tutupan hutan adalah upaya meraih manfaat ekologi bagi masyarakat, seperti ketersedian air bersih, lingkungan yang sejuk, dan terhindar dari bencana alam. Namun, menjaga tutupan hutan juga bernilai ekonomi. Seperti yang dirasakan oleh masyarakat di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Kondisi zero deforestasi di area Perhutanan Sosial kelola masyarakat mendatangkan manfaat ekonomi melalui skema imbal jasa lingkungan. Bujang Raba terdaftar ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.
Dari perhitungan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare. Melalui skema ini masyarakat mendapatkan dana yang difungsikan membiayai kegiatan sosial seperti khitanan, menjadi bantuan langsung tunai (BLT) ketika pandemi, dan membiayai kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan.
“Praktik baik dari pengalaman ini juga menjadi peluang bagi hutan yang dikelola oleh masyarakat di Sumatera Barat,” pungkasnya.
Melalui kajian yang dilakukan oleh KKI Warsi di Lanskap Lunang Silaut Pesisir Selatan, kata Rinal, penghitungan potensi cadangan karbon di zona lindung di 3 hutan nagari memungkinkan untuk meraih skema imbal jasa karbon.
Diketahui dari total luas area lindung seluas 2.040 ha memiliki nilai karbon benefit sebesar 377.591 tco2eq atau sebesar 102.886 ton karbon. Nah, nilai karbon ini memiliki potensi dengan perkiraan sebesar 6 dollar per ton per hektar di pasar karbon sukarela. Dengan begitu, tutupan hutan memiliki nilai ekonomi kepada masyarakat yang mengelolanya” ungkapnya. (Bul)