Infosumbar.net – Sebuah perguruan tinggi vokasi di Sumatra Barat diduga terlibat dalam praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Modus operandi mereka adalah dengan mengiming-imingi mahasiswa dengan program magang di Jepang, namun setibanya di sana, para mahasiswa justru dipekerjakan sebagai buruh.
Kasus ini terungkap setelah dua orang tersangka ditetapkan oleh polisi. Tersangka pertama adalah G, yang menjabat sebagai direktur periode 2013-2018, sedangkan tersangka kedua adalah EH, yang menjabat sebagai direktur periode 2018-2022.
Tim Redaksi Infosumbar berhasil mendeteksi nama perguruan tinggi vokasi tersebut, bersama dengan dua orang mantan direktur yang sekarang menjadi tersangka. Namun, redaksi belum dapat menyebutkan nama institusi tersebut karena belum mendapatkan konfirmasi langsung dari perguruan tinggi terkait.
Menurut Direktur Tindak Pidana Umum (Dirpitidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro, para mahasiswa yang dikirim ke Jepang seharusnya menjalani program magang selama satu tahun. Namun, begitu mereka tiba di Jepang, mereka malah dipekerjakan sebagai buruh.
Dalam kondisi yang tidak manusiawi, para mahasiswa ini diwajibkan bekerja selama 14 jam sehari tanpa hari libur. Mereka juga dilarang menjalankan ibadah selama bekerja. Selain itu, upah yang diberikan kepada mereka hanya sebesar 50.000 Yen atau sekitar Rp5 juta per bulan. Para mahasiswa juga dipaksa membayar 17.500 Yen atau sekitar Rp2 juta sebagai dana kontribusi bagi kampus.
Hingga saat ini, perguruan tinggi yang beroperasi di salah satu kota di Sumatra Barat masih tetap berjalan, meskipun program magang ke luar negeri sudah dihentikan. Selain itu, terungkap bahwa perguruan tinggi ini telah melakukan program magang ke luar negeri sejak tahun 2012.
Kasus ini terbongkar setelah korban berinisial ZA dan FY melaporkan kejadian ini ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang.
“Korban bersama sembilan mahasiswa lain dikirim oleh salah satu politeknik untuk magang di perusahaan di Jepang. Tapi di sana mereka malah jadi buruh,” kata Djuhandani di Mabes Polri, Selasa (27/6/2023).
Para korban ini mendaftar untuk mengikuti program magang di Jepang selama satu tahun pada tahun 2019. Mereka kemudian melewati proses seleksi yang ditentukan oleh EH, yang saat itu menjabat sebagai direktur politeknik pada periode 2018-2022.
Dalam penyidikan, terungkap bahwa politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk menjalankan program pemagangan di luar negeri sesuai ketentuan dalam Permenaker Nomor: PER.08/MEN/V/2008.
Kedua pelaku, G dan EH, dijerat dengan Pasal 4 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Mereka menghadapi ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.