Infosumbar.net – Rumah warga yang dirusak sekelompok orang ternyata konsumen Developer dengan perusahaan Devindo Artha Development. Video pengrusakan itu beredar di media sosial beberapa waktu lalu.
Peristiwa itu terjadi di Perumahan Pondok Indah, Kelurahan Gunung Sarik, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar).
Dalam video yang beredar, sekelompok orang itu tampak mengobrak abrik rumah tersebut. Kemudian mereka terlihat memaksa untuk masuk ke dalam rumah.
Pasca viral, Ika Maya Agustina (44) yang menjadi korban menjelaskan, kasus kekerasan yang dilakukan oleh developer Devindo Artha Development berawal dari kenaikan harga rumah dari 310 juta rupiah pada 2014 menjadi 550 juta rupiah di tahun 2023.
“Dulu saya melakukan pembayaran Down Payment (DP) sebanyak 103 juta untuk pembelian rumah di Perumahan Pondok Indah, Balai Baru. Rumah saat itu belum di bangun. Bentuk rumah, yang dibangun di sesuaikan dengan selera konsumen,” katanya.
Ditambahkannya, karena tidak ada kesepakatan harga baru dengan pihak developer, maka pihak developer mengutus preman-preman untuk mengusir dia dari rumah.
“Mereka meminta kami mengosongkan rumah. Tetapi saya menolak, dan meminta preman-preman ini bertemu langsung dengan pengacaranya sebelum mengosongkan rumah,” tambahnya.
Atas kejadian tersebut, ia mengaku mengalami memar di beberapa bagian tubuhnya. Kemudian dirinya telah membuat laporan polisi ke Polresta Padang atas kasus yang saya alami.
“Kami meminta Polisi dapat menangkap pelaku kekerasan dan pengrusakan rumah kami. Yang jelas Indonesia negara hukum, bukan negara hukum rimba,” ujarnya.
Akibat kejadian itu juga, anak Ika Maya Agustina yang duduk di bangku SMP mengalami trauma dan tidak mau pulang ke rumah yang ditempatinya saat ini.
“Anak kami mengalami trauma. Mentalnya terguncang akibat masalah ini. Kami juga tidak ada niat menempati rumah secara gratis sesuai yang di tuduhkan. Kami ingin memiliki rumah ini dengan kredit KPR. Karena sertifikatnya belum ada saat itu, maka kredit KPR tidak bisa dilakukan. Sekarang sertifikat sudah ada, tiba-tiba harga rumah di naikan menjadi 550 juta rupiah. Tentu kami tidak terima,” ungkapnya.
Sementara pimpinan Developer Devindo Artha Development Elvy Mardreani mengaku bahwa sebelum video viral, pihaknya kesulitan komunikasi dengan penghuni rumah, apakah mau lanjut atau membatalkan.
“Kami sudah coba berkomunikasi diluar persidangan, namun diluar dugaan. Berbeda dengan penyelesaian rumah-rumah sebelumnya, kami berhasil menyelesaikan di luar pengadilan dan bisa mengeluarkan uang sesuai dengan kesepakatan,” katanya, Senin (19/2/2024).
“Itu yang saya inginkan. Jadi saya tidak mau dirugikan dan tidak mau merugikan. Jadi apabila dia merasa itu rumahnya dan membeli ia harus membayar. Kalau harus batal, berapa konsekuensinya yang harus saya kembalikan,” katanya lagi.
Kalau dibiarkan begitu saja, kata Elvy, tentu tidak ada penyelesaian. Akhirnya disaat orang suruhannya datang, malah diteriaki maling. Kemudian orang-orangnya itu juga dihadang dengan golok.
“Beberapa sekian detik (video viral) dimanfaatkan oleh seseorang untuk memvideokan hingga diviralkan dan kejadiannya tidak seperti itu,” ungkapnya.
Diakuinya, dia selaku developer tidak pernah menyuruh suruhannya itu untuk menghancurkan, menendang, merusak dan untuk bentrok.
“Yang saya inginkan adalah si penghuni rumah mendatangi saya dan menyelesaikan. Apabila tidak mau, tolong pintunya saya mintak dan saya bukak lagi. Makanya tukang itu membawa linggis untuk membuka kunci pintu rumah itu,” tuturnya.
Terkait hal itu, dirinya hanya meminta kewajiban mereka (pemilik rumah) membuat pengikatan jual beli. Menentukan harga, kapan untuk AJB dan kapan untuk balik nama.
“Karena saya sudah membiarkan selama 10 tahun mereka tinggal disana tanpa saya mempersulit mereka. Tanpa lapor RT juga, saya biarkan,” jelasnya.
Kemudian terkait uang Rp103 juta yang disebutkan merupakan uang payment atau uang panjar atau uang tanda ada keseriusan dalam jual beli rumah tersebut.
“Ketika itu saya memberikan harga promo. Kesepakatan kita, apabila mereka menghuni, dia harus membuat serah terima bangunan dan dia harus membayar tiap bulannya. Ketika itu dia menyatakan sanggup membayar diangka Rp1.500.000 hingga Rp2.500.000, ternyata tidak dia lakukan dan malah memusuhi saya sampai detik ini,” katanya.
Diketahui, aksi penganiayaan dan pengrusakan terjadi pada 9 Februari 2024. Kemudian pihak kepolisian baru menerima laporan dari korban pada Jumat (16/2/2024).
“Saat (sekelompok orang) sampai di lokasi, terjadilah penganiayaan dan pengrusakan. Jadi mereka ini memang ada hubungan antara konsumen dan developer,” kata Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Dedy Ardiansyah.
Pasca kejadian, pemilik rumah atas nama Ika Maya Agustina Siregar sudah mendatangi Polresta Padang untuk membuat laporan.
Kemudian berdasarkan laporan dari penyidik bahwa sebelum kejadian, ada kesepakatan dari rumah itu diluar perjanjian antara pemilik rumah dengan developer.
“Sekarang kasus ini kita sudah kita tangani. Penyelidikan sedang berjalan dan empat orang saksi sudah kita periksa dan dimintai keterangan,” ungkapnya.
Selain itu, pihak pengacara terlapor (developer) juga telah mendatangi Polresta Padang untuk menjelaskan hal tersebut sampai terjadi.
“Intinya mereka juga kooperatif. Rencana hari Senin rencananya pengacara terlapor mereka datang lagi ke Polresta Padang. Jika sudah kita dapatkan keterangan saksi-saksi baru akan kita lakukan tindak lanjut,” katanya. (Bul)