Oleh: Afdalil Zikri
Terkenal dengan falsafah “alam takambang jadi guru”, masyarakat Minangkabau menjadikan semua kejadian yang ada di alam ini sebagai guru, sumber inspirasi dan sumber pengetahuan. Pembelajaran yang didapat dari alam membuat masyarakat Minangkabau kaya akan adat, budaya atau tradisi unik yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Keunikan tersebut dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, sebut saja Matrilineal yang merupakan satu-satunya budaya yang ada di Indonesia. Keunikan ini tidak hanya ada pada budaya tapi juga pada kuliner masyarakat nya. Selain rendang yang sudah sangat terkenal ke seluruh dunia, ada satu tradisi kuliner yang dilakukan masyarakat Minang yang dilakukan pada saat tertentu yaitu Malamang atau membuat lemang.
Munculnya tradisi malamang ini tidak dapat dilepaskan dengan muncul dan berkembangnya Islam di Minangkabau sekitar tiga ratus tahun yang lalu. Saat itu ulama terkenal Syekh Burhanuddin datang ke daerah pesisir Minangkabau untuk melakukan syiar Islam. Syiar Islam yang dilakukan terutama bertempat di Ulakan, Pariaman. Menurut Tambo, Syekh Burhanuddin rajin mengunjungi rumah-rumah warga untuk menjalin silaturrahmi. Dalam kunjungan beliau ke rumah warga beliau disuguhkan makanan oleh warga. Agaknya syekh Burhanuddin meragukan kehalalan makanan yang disuguhkan oleh warga. Akhirnya beliau menyarankan kepada warga untuk mencari bambu, didalam bambu dilapisi dengan daun pisang muda, lalu dimasukkan beras ketan dan santan kedalamnya kemudian dipanggang diatas tungku dengan bahan bakar kayu. Sampai sekarang kisah inilah yang dipercaya masyarakat Minangkabau sebagai asal usul tradisi malamang.
Dalam perkembangannya, bahan malamang tidak hanya terbuat dari beras ketan dan santan tapi juga terbuat dari beras hitam (baca:siarang) yang dijadikan tepung kemudian dicampur dengan gula aren yang telah dilarutkan tapi tidak dilapisi dengan dengan daun pisang muda. Proses lainnya sama dengan malamang dengan bahan beras ketan.
Hingga kini, walaupun zaman telah berkembang dengan pesat bahan malamang masih tetap sama dengan dahulunya. Tradisi malamang dilakukan tatkala ada acara penting seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, menjelang Ramadhan, pernikahan, akikah atau acara besar lainnya.
Mulai Ditinggalkan
Sepertinya tradisi malamang untuk saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Minangkabau walaupun masih ada daerah yang masih mempertahankannya. Menurut pantauan penulis khususnya di negeri penulis sendiri tradisi malamang ini sudah mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai meninggalkan tradisi malamang dengan beberapa sebab, diantaranya:
-
Terkikisnya semangat kebersamaan dan gotong royong, malamang tidak bisa dilakukan seorang diri perlu dilakukan secara bersama-sama. Mulai dari mencari bambu, mencari kayu ke hutan, mempersiapkan bahan-bahan seperti beras ketan, santan, larutan gula aren dan daun pisang untuk dimasukkan ke dalam bambu. Tentu ini tidak dapat dilakukan sendiri, perlu kebersamaan untuk melakukannya. Nah, semangat itulah yang sudah terkikis di masyarakat Minangkabau. Terkikisnya semangat kebersamaan dan gotong royong tidak lain adalah karena masuknya budaya barat yang mengajarkan sikap individualis dan pragmatis yang tidak mampu dibendung oleh masyarakat.
-
Adanya UU dan Peraturan Pemerintah yang dilarang melakukan illegal logging, sebagai contoh UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Inpres No. 4 tahun 2005 tentang Ilegal Logging. Adanya pasal pidana dalam UU dan Peraturan Pemerintah bagi siapa yang melakukan penebangan hutan membuat masyarakat berpikir dua kali untuk mencari kayu ke hutan untuk. Daripada dihadapkan pada kasus pidana masyarakat lebih memilih untuk tidak malamang.
-
Biaya yang mahal, tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pembuatan lamang adalah mahal.sebagai contoh untuk membuat lamang dengan bahan 6 liter beras ketan saja butuh biaya sekitar butuh biaya sekitar Rp.250.000,-. Belum lagi tenaga dan waktu yang tersita dalam proses pembuatan lamang.
-
Banyaknya makanan yang siap saji, masyarakat lebih memilih membeli makanan siap saji daripada membuat lamang. Dengan alasan rasa lamang dan kue siap saji tidak jauh berbeda.
-
Waktu pengerjaan pembuatan lamang agak lama, standar waktu pembuatan lamang adalah lebih kurang 5-6 jam. Waktu tersebut adalah ketika lamang sudah dimasukkan kedalam bambu, belum lagi waktu yang lain seperti menghidupkan api, memanaskan bambu dan pengeringan lamang.
Pertahankan Tradisi
Sangat disayangkan sekali tradisi yang sudah lama ada di Minangkabau kita tinggalkan begitu saja. Siapa lagi yang akan mempertahankan tradisi malamang ini kalau bukan kita, khususnya kita sebagai generasi muda. Mempertahankan tradisi malamang ini dapat kita lakukan dengan 1. Menjalin kembali semangat kebersamaan dan gotong royong, sebab apapun yang dilakukan tidak akan berat kalau dilakukan secara bersama. 2. Menyaring budaya yang datang dari luar, salah satunya adalah budaya hedonisme yang mengajarkan sikap individualis dan pragmatis. 3. Menanamkan kepada generasi muda sikap memiliki budaya salah satunya malamang.
Sangat disayangkan sekali bila tradisi yang unik ini ditinggalkan apalagi dilupakan, ketika budaya atau tradisi kita telah diambil oleh orang lain kita ramai-ramai protes sementara kita sendiri tidak mampu mempertahankannya. Mudah-mudahan tradisi malamang tetap ada sampai kapanpun. Aamiin.