Rohana Kudus Lahir di nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam 20 Desember 1884 dari pasangan Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Beliau dan Sutan Syahrir merupakan saudara sebapak. Pada masa kecilnya, Rohana tidak menikmati bangku sekolah formal. Ia belajar membaca, menulis, serta berbahasa Belanda dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemerintahan Belanda.
Pada usia lima tahun, Rohana sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu. Melalui istri atasan ayahnya, Rohana juga mempelajari menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang kelak ia ajarkan pada sekolah yang dibukanya di Koto Gadang.
Melihat timpangnya pendidikan bagi perempuan, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia (sekarang Yayasan Amai Setia). Merasa perjuangannya masih kurang, Rohana berkirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, di Padang, agar memberi ruang kepada tulisan perempuan.
Setelah pertemuan di Koto Gadang, akhirnya terbitlah pertama kali pada 10 Juli 1912, Soenting Melajoe, surat kabar yang diperuntukkan bagi wanita di tanah Melayu. Surat kabar tersebut hasil kerjasama Rohana Kudus dan Ratna Juwita Zubaidah, anak dari Datuk Sutan Maharadja.
Di sepanjang hidupnya, Rohana terus mengajar sekaligus melanjutkan profesinya sebagai jurnalis perempuan dengan memimpin koran ‘Perempuan bergerak’ di Medan pada 1920, menjadi redaktur koran ‘Radio’ dan koran Cahaya.
Rohana menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia pada tahun 1974. Pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Tanggal 6 November 2007 pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.
Wanita tangguh ini meninggal pada 17 Agustus 1972 di Jakarta. Beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 8 November 2019. Nama beliau diabadikan pada sebuah gedung area komplek GOR H. Agus Salim.