Oleh: Lismomon Nata
(Candidat Doktor Ilmu Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang)
infosumbar.net – Judul di atas mungkin bagi sebagian orang menganggap adalah pertanyaan retoris. Namun, bagi saya itu adalah pertanyaan esensial bagi masyarakat modern hari ini. Mengapa tidak, sepengamatan saya hampir sebagian masyarakat yang tidak lagi memiliki waktu yang rutin untuk dapat makan secara bersama-sama dengan seluruh angoota keluarganya.
Pada sisi lain, saya berpijak dalam perspektif ilmu sosial kontemporer dan lingkungan sosial yang mengungkapkan bahwa saat sekarang telah terjadi perubahan pola perilaku manusia secara signifikan, yaitu setelah revolusi industri 4.0.
Hal tersebut ditandai dengan ditemukannya komputer dan internet. Pola kehidupan yang awalnya lebih banyak dihabiskan secara bersama-sama melalui interaksi sosial dengan nilai dan norma yang melekat dalam masyarakat tersebut. Namun, sekarang justru dihabiskan dengan benda elektronik yang ada di tangannya, yaitu gawai.
Gawai atau telepon pintar merupakan suatu benda yang sangat dekat dan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia konteks hari ini. Akan tetapi pada sisi lain, berisiko dampak negatif terhadap pola kehidupan manusia itu sendiri, yaitu bagi siapa saja yang tidak dapat mengontrol dan terkontrol dari gawai secara cerdas dan proporsional, terkhusus dikhawatirkan terjadi pada anak.
Kondisi demikian tidaklah serta merta terjadi begitu saja, kecenderungan orang-orang terdekat dengan anak pun seringkali pula terjebak pada perilaku yang sama, yaitu tidak terlepas dari gawai, sehingga masalah ini menjadi ironi dan problematik.
Gawai pada satu sisi bermanfaat dalam hampir sebagian besar kehidupan manusia, mulai dari keperluan pekerjaan, informasi, komunikasi hingga kebutuhan rumah tangga, sehingga seperti halnya pedang bermata dua, ada memberikan manfaat dan juga berisiko negatif. Contohnya dapat kita saksikan, seperti banyak anak yang menghabiskan hari-harinya hanya berselancar di dunia maya, sehingga malas belajar, bermain game tanpa batas waktu, bahkan ada yang terjebak judi online. Belum lagi penggunaan gawai yang tidak “cerdas”, seringkali pula membawa seseorang terjerumus pola kehidupan malam via dunia maya, pornografi, berkendaraan sambil bermain gawai yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas hingga tindakan kekerasan.
Hal tersebut tentu juga akan memberikan risiko dampak buruk pada anak atau remaja untuk masa depannya. Dimana pada fase tersebut semestinya waktu untuk belajar dan mempersiapkan diri, baik berupa ilmu pengetahuan, mental dan sosial yang berkualitas karena akan menjadi penerus bangsa dan negara yang dicintai ini ke depannya.
Penggunaan gawai dapat merenggangkan interaksi sosial antar individu. Saat seseorang menggunakan gawai, seringkali ia akan hanyut dalam derasnya gelombang dunia maya bahkan bisa saja kecanduan, sehingga memberikan kesan tidak peduli dengan lingkungan di sekitar. Hal tersebut menyebabkan interaksi sosial menjadi lemah, demikian juga dapat terjadi dalam keluarga.
Apabila ayah, ibu dan masing-masing anggota keluarga hanya asyik dan menghabiskan waktu dengan gawai, maka rumah dan keluarga menjadi seperti ruang hampa. Ia seringkali hanya untuk sekedar sebagai tempat menghindari dari panas terik matahari atau tempat istirahat saat malam tiba. Padahal disadari bahwa keluarga dan rumah merupakan tempat kembali yang terbaik dan terindah dimiliki oleh setiap orang, karena di sana cinta lahir dan bertumbuh. Artinya, tidak sama sekali untuk meninggalkan gawai, akan tetapi bagaimana dapat mengatur atau mengontrol penggunaan dari gawai itu sendiri secara cerdas.
Apabila setelah bekerja dan kembali ke rumah, semestinya setiap anggota keluarga termasuk ayah dan ibu dapat meminimalisir penggunanaannya. Adapun yang dilakukan adalah dengan cara sengaja menyediakan waktu untuk berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, seperti halnya prinsip “kembali ke meja makan”. Masyarakat Minangkabaupun dalam petatahnya mengungkapkan, “batanyo salapeh arak, barundiang sasudah makan”. Artinya, momentum makan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis karena lapar saja, melainkan juga memiliki makna yang luas terhadap budaya dan psikologis.
Kembali ke meja makan dapat dipahami dengan dua pemaknaan. Pertama adalah setiap anggota keluarga untuk dapat mengatur dan menentukan waktu secara bersama hadir secara fisik berkumpul di meja makan untuk makan bersama, kemudian setelahnya dapat saling bercerita dan memberikan informasi satu sama lain, sehingga keterlekatan anggota keluarga dan kehangatannya dapat terjaga. Makna kedua adalah, kembali ke meja makan adalah kalimat filosofis dimana setiap anggota keluarga mesti menyediakan waktu untuk secara bersama-sama dalam keluarga, tidak hanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hal ini dipahami karena perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang yang cenderung gaya asitektur rumah yang minimalis atau tuntutan kepemilikan ruang yang tidak mencukupi, sehingga tidak lagi memiliki ruang atau tempat untuk meletakan meja makan di rumah.
Kondisi tersebut bila kita amati berbeda dengan pola kehidupan masyakarat Indonesia masa lalu yang mengganggap keberadaan sebuah ruangan dan meja makan adalah suatu hal yang penting serta sekaligus menunjukkan prestise atau status sosial sebuah keluarga. Artinya, apabila sebuah keluarga saat itu di rumahnya ada ruangan dan meja makan, maka keluarga tersebut diyakini merupakan keluarga berstatus sosial tinggi dan terdidik. Meja makan sejak zaman dahulu telah dijadikan sebagai tempat anggota keluarga dapat berbagi cerita, informasi, menyampaikan hal-hal yang perlu untuk disampaikan dalam keluarga, selain mengaja hubungan tali batin, momentum tersebut tidak jarang menjadi memori yang selalu dinantikan setiap anggota keluarga karena setelah hampir seharian beraktivitas atau bekerja di ranah publik.
Bagi anak dapat menjadikan waktu tersebut untuk menceritakan apa yang berkesan dialaminya atau menyampaikan apa yang menjadi keinginan atau kebutuhan mereka kepada kedua orang tua dan sebaliknya, kedua orang tua menjadikan kesempatan bersama untuk mencari tahu, bertanya secara intens tentang anak mereka, sehingga komunikasi terus berjalan, terhindarnya sekat-sekat antar anggota keluarga, apabila ada masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat dengan solusi terbaik.
Pemaknaan kembali ke meja makan dalam dua pemaknaan yang telah dijelaskan di atas memiliki banyak manfaat. Meja makan dapat dijadikan sebagai momentum dalam menanamkan nilai-nilai dan norma dalam anggota keluarga kepada anak, termasuk nilai saling menghormati, gotong-royong atau toleransi, apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, sehingga meja makan dapat dijadikan sebagai salah satu strategi yang efektif dalam menginternalisasi nilai-nilai (Harmadi, 2019).
Demikian juga harapan “meja makan” dapat dijadikan sebagai cara dalam membantu perkembangan anak dengan adanya komunikasi yang terbuka antar anggota keluarga. Di tengah-tengah kesibukan orang tua bekerja yang membutuhkan banyak waktu, maka dengan adanya mengatur dan menyediakan waktu pada saat makan bersama ataupun waktu tertentu yang disepakati merupakan sebuah upaya dalam membantu tumbuh kembang anak untuk sempurna, seperti memberikan kesempatan untuk saling bercerita, meberikan apresiasi, berupa hadiah sehingga memberikan motivasi untuk anak lebih baik (Sukarno, 2021).
Satu jam bukanlah waktu yang terlalu lama dari dua puluh empat jam yang dimiliki setiap hari. Oleh karena itu, satu jam tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga di “meja makan” dan tentu tanpa gawai. Bila gawai butuh charger untuk mengisikan dayanya, maka manusia butuh kebersamaan untuk merasakan dan mencicipi cinta kasih dengan orang-orang yang ia cintai pula hingga ke saripatinya, yaitu kebersamaan dalam keluarga. Dengan adanya kehangatan, kebersamaan, cinta kasih dari setiap keluarga Indonesia, lahir harapan terwujudnya keluarga berkualitas untuk Indonesia emas 2045, bila tidak bisa saja menjadi Indonesia “cemas”.