Oleh : Lismomon Nata, S.pd, M.Si, CHt
Pulang kampuang (pulang kampung) atau biasa juga disebut mudik telah tradisi bagi masyarakat di Indonesia sejak dulu kala. Meskipun kata mudik atau pulang kampung secara temporal mulai muncul di era 80-an dan itupun cendrung dilakukan oleh para pekerja yang pergi dari kampung halamannya untuk bekerja di luar daerah asal. Kegiatan ini dilakukan oleh orang- orang yang menjelang hari raya Idul Fitri tiba, yaitu oleh para perantau. Pulang kampung tidak hanya dimanfaatkan oleh orang yang menganut Islam saja, karena setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan akan merayakannya bersama orang tua atau sanak saudara di kampung, melainkan juga dimanfaatkan oleh umat pemeluk agama lain, seperti hari berlibur biasanya. Namun, pulang kampung ini tentu dalam gelombang massa.
Walaupun secara umum, kondisi ekonomi bangsa Indonesia dapat dikatakan masih belum stabil, bahkan beberapa kasus pada setiap tahunnya terjadi kecelakaan yang tidak jarang merenggut nyawa, belum lagi Covid-19 masih menjadi penghalang, bahkan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk tidak mudik atau pulang kampung untuk kedua kalinya beberapa waktu lalu, akan tetapi keinginan perantau untuk melakukan mudik tentu ada dan sangat kuat. Beberapa tahun yang lalu sebelum pandemi bahkan menjadi sebuah program yang dianjurkan oleh pemerintah untuk para perantau pulang kampung. Bagi masyarakat perantau Minang menamainya dengan ‘pulang basamo’ (pulang bersama).
Tradisi pulang kampung merupakan sebuah fenomena sosial unik yang dapat dikaji dalam berbagai perspektif. Pada tulisan ini, penulis tertarik untuk melihatnya dari sudut pandang secara sosiologis, yaitu beberapa makna pada tradisi pulang kampuang. Blumer dalam teori interaksi simbolik menjelaskan bahwa ‘manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain (Poloma. 1994). Makna-makna disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung. Teori interpretatif simbolik ini menyatakan bahwa manusia memiliki kebudayaan sendiri dan kebudayaan itu adalah hasil dari ciptaan manusia, namun analisis dari kebudayaannya bukanlah sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna, termasuk ketika mencari makna pada prosesi pulang kampung.
Di era 80-an, 90-an tradisi pulang kampung merupakan aktivitas yang memiliki prestise tertentu dan menjadi kebanggaan tersendiri bila dapat melakukannya. Kedatangan para perantau sekali dalam satu tahun itu pun sangat dinantikan oleh orang kampung, maupun sanak saudara mereka, karena secara tidak langsungpun membawa kebanggaan tersendiri menyertai mereka. Semakin jauh daerah rantau, maka cenderung semakin memberikan nilai lebih, seperti ketika itu berbeda pulau karena untuk dapat pulang kampung membutuhkan kesiapan secara ekonomis yang cukup tinggi. Pengeluaran tersebut tidak hanya untuk operasional selama perjalanan, akan tetapi juga dipersiapkan untuk juga dibagi-bagikan kepada keluarga serta sanak saudara serta orang kampung nantinya, ada pula memberikan bantuan dalam suatu bentuk pembangunan sarana prasarana umum.
Niat awal dari para perantau pulang kampung cenderung dalam rangka memanfaatkan momentum hari raya Idul Fitri untuk melepaskan kerinduan dengan orang tua, sanak kerabat setelah beberapa bulan atau hitungan tahun telah mereka tinggalkan. Jika pada tahun itu mereka dirasa tidak memiliki atau cukup secara hitungan ekonomisnya, maka para perantau akan memilih untuk bersabar menunggu tahun berikutnya hingga dirasa memiliki uang yang cukup untuk pulang kampung. Bahkan, ada uang atau tidak, tetap saja mencari jalan agar dapat pulang kampung, berhutang sekalipun.
Makna pulang kampuang yang pertama, dapat bermakna sebagai bentuk ungkapan pengabdian kepada orang tua, sanak saudara, kampung halaman. Ada nilai batin yang tidak ternilai di dalamnnya. Di samping itu serupa upaya untuk menjalin dan mempererat silaturahmi perantau dengan sanak saudara yang mereka tinggalkan di kampung halaman dan tentu ada semacam kerinduan akan daerah asal atau kelahiran. Selain itu juga berfungsi untuk mengenalkan asal daerah atau tanah kelahiran, terutama kepada anak- anak mereka yang lahir dan dibesarkan di tanah perantauan. Dengan tujuan agar keturunan mereka tidak kehilangan jejak atau tidak tahu dengan daerah asal orang tua, maupun sanak saudara mereka di kampung, sehingga, akan dapat mengikat dan mempererat hubungan kekeluargaan, meskipun mereka hidup di tempat yang berbeda. Hal ini menjadi kebahagiaan sekaligus kebanggaan tersendiri bagi mereka ketika dapat mengunjungi sanak saudara, atau sekedar untuk berekreasi dan berswapoto di spot tertentu di kampung halaman mereka, setelah merasa jenuh beberapa bulan, atau tahun berada di kota- kota besar, yang berpenduduk padat dan sesak. Keceriaan terpancar ketika ‘orang- orang kota’ pulang kampuang dengan mengabadikan momen- momen tersebut atau membeli baju- baju, pernak- pernik yang berciri khaskan Sumatera Barat. Minimal berpose dan membagikannya di media sosial.
Kedua, makna pulang kampuang berfungsi laten sebagai pola prilaku untuk membentuk image prestise atau pengharapan ‘pengakuan’ dari orang lain (orang kampung) yang mengungkapkan bahwa orang yang pulang (perantau) bahwa kini mereka telah menjadi orang yang sukses di tanah perantauan. Dengan demikian, akan dapat menunjukan eksistensi mereka sebagai orang yang berguna dan bermanfaat bagi keluarga atau sanak famili dan kehidupan yang telah berubah menuju kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut, sebagai aplikasi dari petuah nenek moyang orang Minang ‘anak dipangku, kamanakan dibimbiang, dan urang kampuang dipatenggangkan’. Artinya, secara luas bahwa posisinya tidak hanya sebagai bapak dapat mengayomi anak saja, melainkan juga kemenakan maupun sanak saudara bahkan orang kampung. Lebih jauh dari pada itu, bahkan ada di beberapa kampung yang secara terorganisir secara bersama-sama melakukan pulang kampung secara konvoi dan kemudian membangun fasilitas- fasilitas umum di kampung mereka, seperti tempat ibadah, atau bantuan sarana prasarana pendidikan atau kesehatan, perbaikan jalan secara gotong-royong, sehingga ada manfaat yang dirasakan hasil perjuang selama di perantauan.
Motivasi pertama orang rantau masih cenderung didasarkan alasan ekonomi yang utama. Tidak sedikit awalnya para perantau layaknya seperti ‘anak singkong’ dan disebabkan faktor alam. Alam Sumatera Barat memang kadang tidak seberuntung alam di daerah lain, yang kaya dengan sumber daya alam. Contohnya, kalau kita lihat di daerah pesisir yang hanya dapat ditumbuhi oleh pohon kelapa, yang merupakan tanaman tua, jika kita hanya menunggu kelapa tersebut tentu kehidupan kita tidak banyak berubah. Dengan kata lain, motivasi beberapa perantau melakukan perantauan dalam upaya memperbaiki nasib dan berkeingan untuk maju untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hasil yang mereka harapkan adalah ketika pulang kampung, maka ia akan menunjukan bahwa ‘singkong’ adalah makanan yang kaya dengan karbohidrat dan dapat tumbuh dengan baik dimana saja, dan banyak manfaatnya. Maka disinilah penulis mengambil benang merah bahwa teori challenge and respon (tantangan dan tespon) dapat berlaku, yaitu manusia memiliki kemauan yang kuat dan dapat keluar dari kesulitan- kesulitan serat mencari alternatif baru, ketika mereka dihadapkan oleh suatu kondisi yang sulit.
Implikasi yang cukup luar biasa secara ekonomipun timbul dari efek tradisi pulang kampuang, yaitu terjadinya perputaran uang dan pembangunan di kampung halaman. Dimana selama ini roda perekonomian yang kecendrungannya berputar kencang di pusat-pusat kota atau kota- kota besar. Akibat terjadinya mudik atau pulang kampuang kini daerahpun merasakan imbasnya. Kenyataannya, di beberapa tempat terjadi transaksi jual beli dalam skala yang cukup besar, tempat rekreasi ramai dikunjungi, dibangunnya sarana prasarana fasilitas umum atau diberikannya sumbangan, hibah usaha dan atau setidaknya ketika perantau singgah di kedai- kedai sekalipun akan membawa dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Belum lagi, bila ada anak kemenakan atau orang kampung yang juga ingin mengubah hidup mereka di perantauan, maka momen pulang kampung menjadi sarana penting untuk menjadi awalnya.
Asumsi penulis selagi adanya kemauan dan keinginan untuk merubah nasib serta mengamalkan pituah ‘karatau madang di hulu, babungo babuah balun, marantau bujang dahulu di kampuang paguno balun’, tradisi merantau, tradisi pulang kampuang akan terus bertahan dan menjadi budaya yang menarik untuk selalu diperbincangkan, walaupun hanya waktu yang akan menjawabnya apalagi di tengah-tengah alat teknologi di tangan telah ‘menyamarkan’ arti kehadiran tubuh dan pandemi Covid-19 yang melarang untuk manusia melakukan kerumunan. Akankah pulang kampung akankah masih bermakna? Di mana saat sekarang ini teknologi telah dapat memperdekat yang jauh, dapat bertatap muka melalui layar smartphone di genggaman tangan. Bisa saja semuanya itu merenggangkan hubungan sosial dan emosional kekeluargaan. Meskipun, bisa juga nanti dianggap biasa, sehingga tradisi pulang kampung menjadi luntur. Namun, tentu manusia akan mengukir sejarah dan kehidupannya sendiri sesuai dengan zamannya dan doa-doa terus dikirimkan semoga Covid-19 lekas berlalu.