H. Agus Salim, pria yang terlahir dengan nama Masyudul Haq asal Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884 dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam “H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme”, ketika Masyudul kecil, dia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya “den bagus” yang kemudian dipendekan menjadi “gus.” Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya “Agus”. Nama belakang “Salim” merujuk dari nama belakang ayahnya, Sutan Mohammad Salim.
Agus Salim muda merasakan pendidikan Europeesche Lagere School (ELS), dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia berkat posisi ayahnya sebagai orang cukup berpengaruh pada saat itu. Agus Salim muda telah menguasai sedikitnya sembilan bahasa asing, (Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, Jerman, Melayu, dan Minangkabau) lulus dari HBS di Batavia pada tahun 1903 dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta pada usia 19 tahun.
Pada tahun 1905 hingga 1911 beliau menjadi penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Saat pulang ke tanah air, beliau langsung aktif dalam pergerakan nasional dan juga mendirikan Sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School) di Koto Gadang, Bukittinggi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak: Theodora Atia (Dolly), Jusuf Taufik (Totok Salim), Violet Hanifah (Yoyet), Maria Zenobia, Ahmad Sjauket, Islam Basari, Abdul Hadi, Siti Asia, Zuchra Adiba, dan Abdurrachman Shiddiq.
Theodora Atia (Dolly Salim), anak pertama Agus Salim, merupakan orang pertama yang menyanyikan lagu Indonesia Raya pada 28 Oktober 1928 saat acara Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Jalan Kramat Raya 106, Batavia, bersama sang penggubah, W.R. Supratman. Kolaborasi tak terduga tersebut berhasil menghadirkan tepuk tangan membahana dari semua orang yang hadir pada kegiatan tersebut.
Agus Salim sendiri sudah mengarang sejumlah buku. Salah satunya adalah buku dengan judul “Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan?” yang lalu judulnya diperbaiki menjadi “Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal” pada tahun 1953.
Selain aktif di dunia diplomasi, H. Agus Salim juga dikenal gencar di dunia karir jurnalistik bahkan sebelum bergabung dengan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1915 sebagai redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian diangkat sebagai Ketua Redaksi harian tersebut. Tidak hanya itu, H. Agus Salim juga merupakan pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta, pendiri surat kabar Fadjar Asia, redaktur Harian Moestika di Yogyakarta.
Dijuluki The Grand Old Man karena kepiawaiannya dalam berdiplomasi pada saat itu. Salah satu contoh, beliau sangat cerdik untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari Jerman. Jerman yang dikenal sebagai negara yang arogan dipukau oleh pidato Agus Salim saat kunjungannya sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu hingga akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Menjelang akhir hayatnya, H. Agus Salim dilantik sebagai Ketua di Dewan Kehormatan PWI pada tahun 1952 mengingat pergerakannya di dunia jurnalistik nasional. H. Agus Salin, The Grand Old Man meninggal pada 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Pria asli Minang tersebut ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961 sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan beliau pada masa perjuangan Indonesia.