oleh Arifki
Kolumnis dan Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas Padang
Siapa yang pernah berpikir, makin kencang badai melanda, semakin jauh Swarloga ditinggalkannya —Walter Benyamin
Kata-kata ini dikutip ulang Benedict Andorson pada awal kata pengantar bukunya “ Imagined Communites”. Dalam catatan kaki kutipan tersebut menyatakan bahwa Benyamin membayangkan malaikat yang diterpa badai mahadahsyat dari sayapnya yang berasal dari Swarloga. Yang mengantarkannya pada masadepan yang misterius dan puing-puing kemegahan masalalu—kepada badai ini dinamakan kemajuan.
Kata pengantar yang digunakan Ben sangat tepat jika diihat dari perjalanannya meneliti tentang Asia Tenggara, Ben telah menunjukan peran sebagai seorang intelektual, terutama Indonesianis yang pantas dikenang dan dibanggaan sampai akhir hayatnya di Batu, Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/12) jam 11:30 WIB. Sebelumnya, Anderson juga baru memberi kuliah umum di Universitas Indonesia tentang “Anarkisme dan Sosialisme”, Kamis (10/12).
Dalam bukunya yang disebutkan sebelumnya Ben telah memberikan romantisme sejarah bagi masyarakat Indoensia yang disatu sisi itu semua menjadi sesuatu yang melekat pada dada semangat kebangsaan, disisi lain ada nasionaisme yang terbentuk tetapi terbanyangkan. Makanya, Ben menjelaskan anasir-anasiri satu persatu dalam buku tersebut.
Bangsa didefinisikan sebagai komunitas politik dan dibayangkan sebagai suatu yang sifat terbatas secara inheren dan berkedaulatan, bangsa ialah sesuatu yang dibayangkan (imagined) karena “setiap anggota bangsa terkecil sekalipun tidak akan tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain”, namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka, (B. Anderson: 1993).
Sehingga nasionalisme yang selama ini kita bentuk niscaya terkesan hambar. Satu tanah air, bangsa dan bahasa tak bisa mendeskripsikan praksis cinta yang seharusnya kita wujudkan terhadap negara ini. Kita selalu memaki-maki pada saat rendang, reok ponorogo, tari pindat dan lain-lain dicaplok oleh negara tetangga. Semua yang kita lakukan hanya sebatas marah-marah, kebudayaan daerah lain yang berada dalam kesatuan negara kita yang tak pernah kita temui secara langsung dan dilestarikan. Nasionalisme kita terbentuk karena alasan-alasan itu, hal yang paling membuat kita tertawa dengan “dagelan nasionalisme” ini adalah pada saat Krisdayanti bercerai dengan Anang Hermasyah dan Kridayanti menikah dengan Raul Lemos, warga Timur Leste. Pada saat ada pertandingan bola antara Indonesia dengan Timur Laste, ada beberapa spanduk pendukung Indonesia yang tertulis” balaskan dendam Anang”. Entah apa hubungan kasus perceraian Anang dengan Krisdayanti? Sehingga bisa dibawa-bawa dalam pertandingan bola. Logika yang sama bisa juga kita alamatkan terhadap pertandingan sepabola antara Indonesia dengan Malaysia yang dominan panas dibandingkan negara lainnya—lagi-lagi persoalan nasionalisme semu yang menaikan libido kebanggan yang sulit diungkapkan secara rasional.
Akibat dari semua itu, pengenalan tentang kebudayaan negara ini menghilang ditelan substansi sejarah yang dominan dikenal sebagai eksistensi semata. Dagelanya, Soekarno-Hatta dikenal hanya sebagai bandara, Sjahrir dan Tan Malaka sebagai nama jalan dan Agus Salim sebagai nama stadion. Tak ada lagi yang mengenal bangsanya sebagai sesuatu yang “radikal”—mengakar—sebagai semua pemahaman warga negara yang memang cinta secara parpurna akan negeri ini.
Nasionalisme yang saat ini kita jalani, mengutip Derrida seperti “teks yang tak lengakap”. Jika persoalan-persoalan ini kita arahkan pada pasca kemerdekaan yang nyatanya sampai saat ini, istilah Bung Karno tentang “ revolusi yang belum selesai” bisa menjawab keresahan kita berbangsa dan bernegara yang belum menemukan titik kesesuaian (praksis) sesuatu yang kita yakini (kepercayaan) dengan kenyataan yang kita lakukan dilapangan ekonomi, politik, hukum sosial dan budaya.
Dewasa ini kasus yang berhubungan dengan frerfort yang menyeret nama ketua DPR, Setya Novanto menjadikan isu ini secara nasionalisme kita berbangsa dan bernegara semakin buram. Mengapa seperti itu? Diperlihatkannya didepan mata kita (publik) para mafia bermain anggaran dengan saksama untuk mendapatkan kepentingan kelompok/pribadi menjual kekayaan negara. Adanya manufer politik yang dilakukan sesama politisi menjadikan kita sebagai masyarakat “marah” sebagai bukti menunjukan kecintaan kita terhadap negara ini jangan sampai dijual ke asing. Sayangnya, para pemburu rente memanfaatkan peran masyarakat yang tak pernah bisa mewujudkan nasionalismenya yang menggebu-gebu itu—segala keputusan berada ditangan mereka (politisi).
Apakah nasionalisme yang saat ini kita dengungkan masih relevan untuk menjawab tantangan zaman? Apalagi pragmatisnya pemburu rente republik ini yang tak lagi kenal batas, milik negara dan pribadi menyebabkan kita pesimis akan nasionalisme yang kita dengung-dengungkan. Sebenarnya Indoesia telah berhutang banyak terhadap Indonesia, dalam waktu lama ia mengkaji Indonesia, telah banyak hal yang ia lakukan untuk Indonesia. Termasuk mengingatkan Indonesia dalam “bangsa” dan “nasionalisme” yang sebenarnya adalah bayangan-bayangan.
Nasionalisme Ben menusuk saat wasiat yang disampiakan pada orang dekatnya jika ia meninggal, ia menginginkan abunya ditaburkan di sekitar laut Jawa. Nasionalisme Ben, tentu akan sulit diukur dengan parameter kulit, suku dan agama yang sering menjadi wujud nasionalisme yang kita banggakan selama ini. Ben, telah menjadi tauladan dan contoh bagi kita, Ben telah ajarkan kita nasionalisme yang sesungguhnya, kita berhutang secara intelektual terhadap Ben yang telah membesarkan bangsan ini dengan gagasannya bertahun-tahun. Selamat jalan Ben!