Tanggal 12 Oktober 2015 lalu, muncul sebuah berita di detik.com yang cukup menggelitik bagi saya. Nyaris kopi yang saya minum tersembur keluar dari mulut gara-gara membaca berita tersebut. Judulnya kurang lebih: “TK Hingga Kantoran Wajib Bela Negara, Menhan: Jika Tidak, Angkat Kaki dari RI”
Judulnya saja sudah lucu, tahu kan lucunya dimana? Kalau tidak nanti saya jelaskan. Kita lanjut kepada kelucuan lainnya.
Di dalam berita tersebut ada pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Saya quote saja di sini biar jelas:
“Kalau tak suka bela negara di sini, tidak cinta tanah air, ya angkat kaki saja dari sini. Kita bangkit dan hancur harus bersama. Dan akan ada kurikulum untuk bela negara, mulai TK hingga perguruan tinggi.”
Nah, ini adalah kelucuan lainnya. Oke, bagi yang tidak mengerti kelucuan dari judul beritanya sini saya jelaskan.
Kenapa itu lucu? Ya, lucu lah, bagaimana mungkin negara menjadi mudah sekali mengusir warganya dari tanahnya sendiri, hanya karena dia tidak mau ikut program baris berbaris. Lucu kan? Semudah itukah mengusir warga negara ini, yang semenjak dari nenek moyangnya sudah ada di sini.
Lalu pada pernyataan Menteri Ryamizard yang saya quote keliatan kalau Pak Menteri gampang sekali menilai rasa cinta. Menurut Pak Menteri cinta atau tidak pada negeri ini hanya ditentukan melalui program baris berbaris yang disebut bela negara. Ini sama saja dalam situasi seperti ini:
Wanita : Sayang, besok temenin aku belanja ya?
Lelaki : Maaf, ya sayang aku besok harus nemenin Mama.
Wanita : Jadi, kamu sudah nggak sayang sama aku?
Lelaki : …….
Saya rasa kita semua tak perlu berdebat soal cinta. Jika ditanya siapa paling cinta, mungkin rakyat negeri ini akan saling berebut, saling klaim bahwa dirinya yang paling kita kepada negeri ini. Tapi apakah semudah itu menilai rasa cinta kami? Hanya karena kami tak mau ikut program baris berbaris itu, lantas kami tak cinta dan tak berhak tinggal di negeri ini?
Saya jujur menolak program bela negara ini. Pertama, saya tidak melihat pentingnya dimana program ini ‘untuk saat sekarang ini’. Ingat ya, untuk saat sekarang ini. Kenapa? Karena negara belum memenuhi apa kewajiban mereka kepada banyak rakyatnya. Angka kemiskinan saja meningkat, lalu apakah orang-orang miskin yang selama ini tak pernah merasakan kehadiran negara itu juga harus bela negara? Kasihan sekali, pasti rasanya seperti dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai.
Lalu apakah mereka yang sesak nafas karena kabut asap di Sumatera dan Kalimantan juga harus ikut bela negara. Bahkan soal masker saja negara masih bertele-tele pada mereka. Dan, masih banyak kondisi di negeri ini yang membuat program bela negara tidak tepat jika dilaksanakan sekarang. Jangan meminta yang macam-macam dulu lah.
Atau begini saja, daripada misalnya program bela negara diperuntukkan bagi rakyat, kalau Bapak ngotot juga gimana kalau program bela negaranya kita peruntukkan kepada para pejabat korup, PNS-PNS dan birokrat malas, anggota Dewan dari DPR, DPRD dan DPD dan seluruh anggota-anggota Partai, para Polantas yang sering cari-cari kesalahan serta para pelaku PHP dan teman-teman tukang tikung. Gimana? Bukankah itu sejalan dengan program Revolusi Mental?
Daripada Bapak Menteri mempertanyakan rasa cinta kami sebagai rakyat kepada negara, lebih baik Bapak mempertanyakan kepada teman-teman di pemerintahan apakah cinta sama kami rakyat. Wong biking KTP saja kadang masih dikadalin.
Apakah negara sudah sepenuhnya hadir dalam kehidupan rakyat sehingga pantas kami bela? Apakah negara begitu cinta kepada kami sehingga layak kami perjuangkan?
Bagaimana kami bisa cinta kalau selama ini masih sering dikhianiati? Bagaimana bisa cinta kalau kami masih sering disakiti? Cinta sih sebenarnya, cinta banget malah. Tapi disaat rakyat cinta, kemanakah negara ketika korban PHP ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya?
Ndak bisa jawab toh?
Tulisan dikirim oleh @superemenn. Mengaku sebagai alien yang merantau ke bumi tapi tak bisa pulang karena ongkos kurang.