Sebagian besar guru menyatakan “puas” karirnya sampai golongan IVa saja. Sedikit yang “berani” melangkah ke golongan IVb. Faktor penghambat adalah kewajiban menulis karya ilmiah dan tidak mampu dilakukan sebagian besar guru.
“Fenomena itu saya dapatkan dari perbincangan dengan sejumlah guru dan pejabat di Dinas Pendidikan. Banyak guru yang kenaikan pangkatnya terhambat lantaran tidak mampu menulis,” ujar Muhammad Subhan, Pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia ketika menjadi narasumber dalam Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Populer dengan tajuk “Berbicara Lewat Tulisan dan Tunjukkan Eksistensi Lewat Pemikiran”, Minggu (23/3), di aula kampus Psikologi UNP Belakang Balok, Bukittinggi.
Acara yang digagas LMPSDM Titian Insan Cemerlang Jakarta itu, telah berlangsung sejak Sabtu (22/3), dan diikuti mahasiswa dan guru se-Sumatera Barat. Tampil pembicara lainnya: Dr. Drs. Ismail Nurdin, M.Si, Drs. Tjahyo Suprajogo, M.Si, dan Rismal Hadi, SSTP, M.Si.
Dikatakan Muhammad Subhan, bukan saja mentok di IVa, bahkan aturan sekarang dari IIIb ke IIIc juga diwajibkan menulis. Artinya keharusan menulis itu semakin ketat, sementara alasan klasik yang diungkapkan mayoritas guru ‘tidak menulis’ karena sibuk sehingga tidak memiliki waktu menuangkan gagasan lewat tulisan.
“Akhirnya banyak guru yang menyatakan puas karirnya sampai di golongan IVa atau IIIb saja,” ujar Muhammad Subhan yang juga seorang jurnalis, penulis, dan alumni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Bonjol Padangpanjang.
Selain masalah kesibukan, faktor keengganan guru menulis juga karena ketakutan atau kecemasan menulis sebab terkait prosedur dan kriteria tulisan yang dapat diterima dan dihargai sebagai karya ilmiah.
“Ada anggapan bahwa prosedur pembuatan karya ilmiah dan kriterianya terlalu sulit sehingga guru merasa berat menulis,” ujarnya.
Pada kesempatan itu Muhammad Subhan berbagi kiat menulis. Menurutnya, menulis harus dibiasakan, dijadikan kewajiban. “Jika tidak dibiasakan, menulis akan menjadi pekerjaan yang sangat berat,” katanya.
Dalam tahap proses menulis, paparnya, seorang penulis ketika menemukan ide langsung dituliskan, tidak menunda. Juga membiasakan menulis minimal satu halaman satu hari. Selain itu, dalam tahap menulis, penulis sebaiknya tidak memerhatikan EYD, titik dan koma, tata bahasa, dan aturan-aturan lainnya.
“Menulis saja terus hingga titik paling akhir. Nanti kalau sudah selesai, baru lakukan editing sebaik mungkin,” pesannya.
Gudang Penulis
Sementara itu, Sabtu (22/3), FAM Indonesia juga memberikan bimbingan kepenulisan untuk 80-an siswa dan mahasiswa se-Kota Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota, di aula bekas kampus Pertanian Unand, Payakumbuh. Tampil sebagai narasumber Muhammad Subhan, Pegiat FAM Indonesia.
Dipaparkan, di masa lampau hingga kini Minangkabau (Sumatera Barat) adalah gudangnya penulis. Minangkabau sangat terkenal ke seantero dunia. Salah satu penyebabnya karena banyak orang Minangkabau yang menjadi penulis besar.
“Jejak penulis-penulis itu harus kita ikuti. Lewat karya tulis mereka membangun bangsa dan membesarkannya,” ujar Muhammad Subhan.
Ibnu Aqil D. Ghani, Pimpinan Portal Beritamuallaf.or.id yang juga memberikan materi menjelaskan bahwa sejarah dakwah tak lepas dari pena yang dalam bahasa Arab disebut Qalam.
“Asah terus penamu. Pena hari ini telah berkembang, bukan hanya pengertian klasik tapi telah berkembang menjadi komputer, laptop, dan segala perangkat sejenisnya,” terang Ibnu Aqil D. Ghani yang mengatakan bahwa dengan perkembangan teknologi menulis pun menjadi mudah.
Sementara itu, Ketua Muhammadiyah Kota Payakumbuh Drs. H. Asyril Syamsu mengatakan bahwa kreativitas tulis menulis ini sangat ditekankan oleh ajaran Islam. “Ayat pertama dalam Alquran bukan masalah salat, puasa atau haji, tetapi justru membaca (Iqra’).
“Ini semua mengingatkan kita bahwa membaca itu sangat penting. Karena itu jika kaum muda Islam ingin menjadi muslim yang berperan dalam dakwah dan kemajuan umat, maka keterampilan menulis ini perlu dikembangkan,” tambahnya. (REL)