Infosumbar.net – Tren penggunaan jasa Henna dalam menggantikan salah satu prosesi adat perkawinan, malam bainai, bagi calon mempelai wanita Minangkabau di Sumatera Barat (Sumbar), mendapatkan tanggapan oleh Budayawan Minangkabau.
Salah seorang Budayawan Sumbar, Hasanuddin, mengatakan, malam Bainai dapat dikategorikan sebagai ritus tradisional Minangkabau, yang penuh makna simbolik, fungsional, dan sakral. Prosesi ritus itu sebenarnya sudah surut, dan cenderung berganti dengan “ritus baru” pemakaian Henna.
“Jika ritus malam bainai dilaksanakan oleh kerabat dengan rangkaian kegiatan prosedural, pemakaian hena justru oleh penawar jasa dan hanya sebatas aktifitas periasan. Jadi, memang terdapat indikasi kuat bahwa telah terjadi desakralisasi terhadap ritus malam bainai tersebut,” katanya melalui telepon pada Selasa, (24/10/2023).
Lebih lanjut, Hasanuddin menjelaskan bahwa kegiatan malam bainai lebih dari sekadar mewarnai kuku dengan inai atau daun pacar, tetapi meliputi beberapa prosesi simbolik. Prosesi tersebut memiliki makna pembekalan final terhadap seseorang anak gadis sebelum memasuki fase berumah tangga, yakni fase membangun hidup baru, dengan berbagai tantangan yang belum pernah dilalui dan dirasakan olehnya.
“Oleh sebab itu perlu kesiapan fisik seperti kesehatan, kebugaran, kesuburan, juga kesiapan mental dan spiritual untuk mampu berbaur dengan lawan jenis dari kerabat berbeda guna membangun kehidupan baru, membina rumah tangga, melahirkan, mengasuh, dan membesarkan anak-anak, sembari menjaga hubungan-hubungan sosial berkerabat lainnya baik secara internal maupun eksternal,” paparnya.
Menurut Hasanuddin, tradisi Malam Bainai perlu direkonstruksi, direfungsionalisasi dan direvitalisasi. Hal disebabkan ritus malam bainai telah surut dan mengalami proses desakralisasi. Ia menilai perlu dilakukannya rekonstruksi melalui kegiatan identifikasi bentuk dan strukturnya sebagai ritual. Kegiatan rekonstruksi dan refungsionalisasi baru bermakna manakala sistem nilai atau ruh ideologis yang dikandungnya dipahami dan dihayati sehingga menjadi vital kembali.
Berbeda dengan Hasanuddin, seorang Budayawan Minangkabau lainnya, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto atau yang akrab disapa dengan Mak Katik menjelaskan, bahwa hakikat malam bainai bagi calon pengantin perempuan di Minangkabau adalah malam bertaubat. Malam bainai dinilai sangat sakral karena malam tersebut adalah malam terakhir bagi calon mempelai berstatus lajang.
“Malam bainai ko hakikatnyo mandi taubat. Nan laki-laki di rumahnyo malam bacukua, nan padusi mandi taubat, sudah tu salat sunnat taubat. (Malam bainai itu hakikatnya mandi taubat. Calon mempelai laki-laki di rumahnya melakukan malam bercukur, sedangkan calon mempelai perempuan melakukan mandi taubat, kemudian salat sunnat taubat,” katanya.
Pada malam bainai yang sesungguhnya, lanjut Mak Katik, calon mempelai perempuan akan dipakaikan inai oleh pihak keluarga, terutama oleh Istri dari para mamak. Saat prosesi bainai dilakukan, akan diberikan berbagai petuah mengenai kehidupan pernikahan.
“Nan malakek an inai tu bini-bini mamak, kalau bisa yang alah menopause, kalau sadang datang bulan ndak bisa do. (Yang memakaikan inai itu adalah istri-istri mamak, kalau bisa yang sudah menopause, kalau sedang datang bulan tidak bisa), tuturnya.
Ia berharap, orang tua yang nanti akan menikahkan anak-anak mereka dapat melakukan malam bainai yang sakral sesuai tradisi yang ada. Mak Katik juga mengimbau agar tradisi malam bainai ini dapat terus dijaga sehingga tidak lekang oleh zaman tanpa harus digantikan oleh tradisi dari luar. (*)