Infosumbar.net- Pariaman tadanga langang, batabuik mangkonyo rami, merupakan sebuah potongan lirik lagu yang mengindikasikan betapa meriahnya Festival Tabuik di Kota Pariaman.
Setelah sempat vakum selama dua tahun karena terdampak pandemi, Kota Pariaman bersiap kembali untuk menggelar acara akbar tersebut.
Tentunya Tabuik bakal memberi pengaruh positif bagi masyarakat, terkhusus warga Pariaman. Kendati bagi pandangan sejumlah kalangan, penyelenggaraan Tabuik masih dianggap kontroversial.
Jika melihat Festival Tabuik di tahun-tahun sebelumya, acara tersebut berhasil mengundang atensi besar wisatawan. Sedangkan di tahun ini, rangkaian Festival Tabuik Pariaman bakal digelar selama 15 hari (30/7 – 14/8/2022) lamanya dan diisi oleh event-event meriah lainnya.
Namun, tak banyak yang menyadari bahwa Acara Tabuik telah ada di Pariaman sejak ratusan tahun silam, dan terus berkembang dari sebuah tradisi keagamaan menuju festival budaya.
Awal Mula Adanya Tabuik di Pariaman
Tabuik atau Batabuik (pesta Tabuik) di Kota Pariaman memiliki sejarah panjang dalam setiap penyelenggaraannya. Kata Tabuik sendiri berasal dari bahasa Arab (Ibrani) yakni At-Tabut, yang berarti peti dan keranda.
Menurut Zakaria dkk dalam Penyelenggaraan Pesta Budaya Tabuik: Perspektif Nilai-nilai Agama (2005), orang-orang Mesir Kuno menyebut Tabut sebagai peti yang terbuat dari batu atau kayu, tempat meletakkan mayat. Di atas peti itu ditumbuhi relief dan gambar-gambar kesedihan orang Mesir serta keyakinan pada alam lain. (hlm. 1)
Sementara itu, Refisrul dalam Jurnal Sejarah Badan Pelestarian Nilai Budaya berjudul Upacara Tabuik : Ritual Keagamaan pada Masyarakat Pariaman (2016) menerangkan perayaan Tabuik di Pariaman berasal dari Bengkulu, yang dibawa oleh Bangsa Cipei atau Keling (Tamil Islam). (hlm. 537)
Bangsa Cipei tersebut berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasi (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda yang dikenal dengan Traktat London 1824. Setelah Belanda kembali merebut Bengkulu dari tangan Inggris dan menukarnya dengan Singapura, sebagian Bangsa Cipei itu mulai bepergian hingga ke Pariaman dan kemudian mengembangkan budaya Tabuik.
Di Pariaman, menurut Buya Hamka dalam Zakaria dkk (2005), Orang Cipei berprofesi sebagai tukang patri. Adanya tradisi Tabuik ini erat kaitannya dengan suatu peristiwa di masa lampau, yakni kisah terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala yang terjadi pada tahun 681 Masehi lalu. Meninggalnya Husein bin Ali adalah dengan cara dipancung dan jasadnya dicincang oleh tentara Yazid dan Bani Ummayah, kepalanya dipisahkan dari badannya. Peperangan antara kedua belah pihak berlangsung selama 10 hari yakni dari tanggal 1 sampai 10 Muharam. (hlm. 2)
Selepas terbunuhnya Husein, datang arak-arakan dari langit yang dibawa oleh serombongan malaikat. Mayat Husein diambil beserta semua bagian badan yang terbelah dan dimasukan ke dalam arak-arakan yang kemudian dibawa terbang oleh seekor burak dan seterusnya naik ke atas langit.
Selanjutnya, Refisrul (2016) menceritakan ketika burak naik ke atas langit, pada keranda atau arak-arakan itu ikut pula seorang dari Bangsa Cipai (Sipaki) yang keberadaannya sempat tidak diketahui oleh malaikat. Setelah pertengahan perjalanan, malaikat akhirnya menyadari bahwa ada seorang manusia yang hidup ikut bersama mereka dan bergantung pada keranda jasad Husein.
Malaikat tidak membenarkan tindakan orang Cipei itu untuk ikut dan menyuruhnya turun kembali ke tanah (bumi), tetapi orang tersebut bermohon agar diizinkan ikut terbang karena ia sangat ingin sekali pergi bersama arak-arakan yang membawa jasad Husein itu kemana saja.
Namun, malaikat tetap tidak mengizinkannya dan menurunkannya kembali ke atas tanah (bumi). Sebagai pengobat hatinya, malaikat menyuruh orang Cipei itu untuk membuat arak-arakan sebagaimana dia lihat pada hari itu. Orang Cipei itu akhirnya menuruti anjuran malaikat dan membuat arak-arakan seperti yang dia lihat ketika jasad Husein dibawa ke langit.
Akhirnya, pada tiap-tiap awal bulan Muharam bangsa Cipei menyelenggarakan arak-arakan dalam wujud tabut yang dibawa berkeliling kampung. Dalam perkembangan kemudian, penyelenggaraan upacara yang dikenal sebagai upacara tabuik oleh masyarakat Pariaman menjadi suatu tradisi turun temurun. (hlm. 538).
Garis Waktu Tabuik di Pariaman
Dari sejumlah literatur, pelaksanaan tradisi atau upacara tabuik ini di Pariaman resmi dimulai pada tahun 1824 Masehi, dan menjadi permainan anak nagari (masyarakat). Namun, perayaan Tabuik ini sempat didukung oleh Belanda, yang bertujuan untuk memanfaatkan politik adu domba masyarakat. Pasalnya, upacara Tabuik terjadi prosesi cakak (perkelahian) sesama peserta tabuik.
Pada awalnya, jumlah Tabuik yang ditampilkan delapan buah, di antaranya Tabuik yang berasal dari Cimparuh, Kampung Jawa, (Subarang), Sungai Batang, Padusunan dan Karang Aur.
Adapun, Efrianto dalam Jejak Peradaban Masa Lalu di Kota Pariaman (2016) menuturkan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, perayaan Tabuik tidak dilaksanakan setiap tahun. Kondisi ini berkaitan dengan keadaan negara dan masyarakat saat itu yang tidak memungkinkan menggelar kegiatan tersebut. Kendati demikian, pelaksanaanya masih dan tata caranya tetap disakralkan oleh masyarakat.
Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1969, jumlah Tabuik di Pariaman ada 5 buah, untuk membuat sebuat Tabuik masyarakat secara bergotong royong mencarikan dana dan membuat Tabuik tersebut. Sayangnya, perayaan Tabuik di Pariaman sempat terhenti dari tahun 1969 sampai dengan 1980. Kondisi ini disebabkan oleh karena terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membiaya pembuatan Tabuik, serta sering terjadinya perkelahian masal ketika acara perayaan Tabuik dilakukan di Kota Pariaman. (hlm. 414)
Setelah itu, Perayaan tabuik dihidupkan kembali tahun 1980, yaitu semasa Pariaman di bawah pimpinan Bupati Anas Malik. Semenjak itu hingga sekarang, Tabuik yang ditampilkan hanya 2 buah yakni Tabuik Pasar dan Tabuik Subarang (Kampung Jawa) yang pada dasarnya merupakan Tabuik induk (asal) bagi tabuik lainnya.
Dari Tradisi Menuju Pesta Budaya
Tabuik, adalah suatu warisan budaya berbentuk ritual upacara atau perayaan mengenang kematian Husain. Hingga kiwari, pro dan kontra gelaran Tabuik tiap tahunnya terus menyeruak. Pihak yang menentang adanya Festival Tabuik kerap menuding Tabuik merupakan budaya yang merusak akidah, karena indentik dengan perayaan penganut Islam Syiah, dengan dalih masyarakat Pariaman merupakan penganut Islam Sunni.
Akan tetapi, AA Navis dalam Alam Takambang Menjadi Guru (1986) menegaskan masyarakat Pariaman beranggapan upacara ini sama sekali tidak menyimpang dari akidah. Pelaksanaan Tabuik hanya semata-mata merupakan upacara memperingati Husain. (Hlm. 277)
Perayaan tersebut, seperti yang dijelaskan Maezan Kahli Gibran dalam Tradisi Tabuik di Kota Pariaman (2015), masyarakat Pariaman tidak mempermasalahkan mengenai asal muasal Tabuik Piaman dari kalangan Islam Syiah. Yang penting, bagi mereka adalah bagaimana Tabuik dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya. (hlm. 9)
Tabuik telah diwarisi secara turun menurun oleh masyarakat Pariaman sejak sekitar dua abad yang lalu. Bahkan Festival budaya Tabuik telah masuk agenda wisata tiap tahunnya. Festival Tabuik telah menarik ribuan wisatawan sehingga ditetapkan juga sebagai bagian kekayaan budaya Indonesia, yang mesti dilindungi dan dilestarikan.
Kendati menuai pro dan kontra di tengah masyarakat yang menyikapi Tabuik sebagai budaya yang menyimpang dari ajaran Islam Sunni, akan tetapi budaya Tabuik telah memberi dampak lainnya yang memberi kesejahteraan masyarakat dan mempromosikan dunia parawisata Pariaman berkembang lebih jauh lagi. (Rma)