infosumbar.net – Dalam merawat warisan kebudayaan, pengarsipan dan literasi adalah aspek-aspek yang tidak boleh ditinggalkan. Seiring perkembangan zaman, upaya merawat memori kolektif tersebut muncul dalam berbagai saluran, salah satunya film sebagai media audio-visual.
Harista Wijaya, pendiri Gazp Media dan praktisi visual sadar akan pentingnya literasi, arsip, dan film dalam menjaga keberlanjutan produk kebudayaan. Atas dasar itulah ia mengemban tanggung jawab sebagai kurator film, literasi, dan arsip dalam gelaran Festival Pusako yang akan berlangsung di Fabriek Bloc pada 11 sampai 15 Oktober 2023 mendatang.
Terkait film, ia memahaminya sebagai salah satu subsektor industri kreatif yang bisa berkembang lebih pesat. Sebagai informasi, industri kreatif menyumbangkan nominal yang bernilai total Rp 1.153.4 Triliun dengan angka statistik 7.3% terhadap PDB Nasional, 15% tenaga kerja dan 11.9% di bidang ekspor pada tahun 2019 lalu. Data ini didapat dari publikasi Kemenparekraf.
“Potensi yang cukup besar ini terus bergerak setiap tahunnya. Hal demikian menandakan bahwa semakin banyaknya para sineas bermunculan sebagai dampak kemajuan industri kreatif di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat,” ungkapnya.
Dapat dilihat dari maraknya bermacam jenis perlombaan film yang diadakan oleh berbagai pihak, pemerintahan, swasta, maupun oknum, mulai ramai dengan beragam formatnya. Namun beberapa kekeliruan dalam hal ini ternyata menciderai para sineas karena diapresiasi dalam nominal uang yang cukup kecil, sangat jauh dari kebutuhan biaya produksi, maupun pasca produksi.
“Bahkan jika ada pemenang lomba sekalipun sudah diatur pula sedemikian rupa melalui pertanggungjawaban yang tidak objektif. Di sinilah letak sebabnya mengapa pewarisan keberlanjutan talenta-talenta tidak bergulir sebagaimana mestinya,” sebutnya.
Upaya pewarisan ini tentu melingkupi kebersinambungan di setiap sektor industri kreatif, khususnya perfilman itu sendiri. Pemaknaan pewarisan ini sejalan dengan Gerakan Kalcer melalui Festival Pusako, sebagai rangkaian kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional 2023 yang bertemakan Merawat Bumi.
“Melalui makna pusako, solusi konkret yang harus diwariskan adalah tentang pemahaman literasi, arsip, riset dengan berbagai data empiris sebagai landasan utama dalam pembuatan sebuah film. Bahkan pengkarya perlu memiliki pengetahuan tentang birokratif, administratif, dan pemahaman bahwa lisensi merupakan bagian dari HAKI,” imbuh Haris.
Lebih lanjut, kemampuan menuturkan suatu peristiwa dan cerita dengan mewarisi keberlanjutan kisah (storytelling) dalam bentuk yang berbeda, juga merupakan aspek literasi yang tidak kalah menarik untuk diarsipkan. Ujung dari kerja pengarsipan ini menjadi upaya menjemput kembali ingatan tentang hal-hal yang pernah ada.
“Siapa sangka, seperti Kota Sawahlunto menyimpan banyak cerita,” ia mencontohkan kota kecil yang kemudian memegang peran sejarah yang krusial karena produksi batu baranya. Tentu cerita yang lebih dalam dan kompleks masih tersimpan mengenai wilayah-wilayah lain di Sumatera Barat, sehingga literasi dan arsip adalah faktor utama untuk “mengawetkan” suatu warisan kebudayaan.
Dalam Festival Pusako, akan berlangsung pemutaran film Tulak Bala (Ritus) (2023) karya sutradara Arif Purnama Putra dan diskusi dengan tajuk “Film Siasat Warisan Budaya”. Kemudian untuk merepresentasikan literasi melalui tradisi tutur atau lisan, akan tampil ventriloquism (seni mengolah suara) oleh Obe Jo Gogo.
Akan hadir pula lapak baca dari Pustaka Steva, Kolam Baca, Ruang Sarga, Tanah Ombak, dan Sastra UKKES UNP sebagai upaya merawat literasi. Kemudian, Arsip Room WTBOS akan membimbing pengunjung untuk memaknai kembali ‘pusako’ sebagai warisan budaya. (*/peb)