Oleh: Nayu Nuringdati Widianingsih
infosumbar.net – Sumatra Barat (Sumbar) menawarkan tak hanya nilai budaya yang berbeda melalui sistem kekerabatan matrilinealnya namun juga dalam karakteristik pengelolaan bentang alamnya. Di seluruh provinsinya terdapat 82% desa (950 Nagari) yang wilayahnya sebagian atau keseluruhannya berada di dalam dan sekitar hutan. Jumlah penduduk yang cukup tinggi dengan karakteristik tingkat kemiskinan yang cukup signifikan di mayoritas nagari di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut, telah memotivasi Sumatra Barat untuk bergerak serentak menjadi pelopor keberhasilan implementasi Perhutanan Sosial di wilayah Sumatra.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan target Perhutanan Sosial nasional hingga 2030 seluas 12,7 juta hektar yang 522 ribu hektarnya berada di Provinsi Sumatra Barat. Hingga awal tahun 2024, total ijin PS yang telah terbit dan didistribusikan mencapai luasan lebih dari 287 ribu hektar. Lebih dari 175 ribu Kepala Keluarga telah menerima manfaat berupa akses kelola dan akses pemanfaatan kawasan hutan negara dengan peningkatan pendapatan 11% dalam kurun dua tahun terakhir. Keberhasilan ini membuat KLHK mengalokasikan tambahan 200 ribu hektar ke dalam target yang harus dicapai oleh Provinsi Sumatra Barat.
Kebijakan menjadi Kunci
Sumatra Barat menjadi salah satu dari sedikit leading example dalam keberhasilannya untuk mengintegrasikan dan menterjemahkan Perhutanan Sosial yang merupakan program strategis nasional ke dalam perangkat utama peraturan provinsi dan daerahnya. Perhutanan Sosial telah diintegrasikan ke dalam visi dan misi kepala daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah serta program unggulan 2021 – 2026. Bahkan, pemerintah provinsi menggelontorkan 29% dari alokasi dana pembangunan kehutanan untuk mendukung keberhasilan Perhutanan Sosial. Sumber pendanaan untuk pengembangan Perhutanan Sosial pun beragam dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH-DR). Dengan memiliki landasan kebijakan yang jelas, semua sektor akan bergerak bersama menuju arah pembangunan yang sama. Kebijakan acapkali menjadi kunci pembuka sinergi multi pihak dalam pembangunan daerah.
Social Capital menjadi Modal
Masyarakat adalah modal utama. Pelaku utama pergerakan di tingkat tapak tak hanya kemampuan namun juga keinginan dari masyarakatnya. Tak jarang, intervensi program pembangunan tak menuai keberlanjutan bahkan mandeg di tengah jalan karena masyarakatnya tak memiliki kemampuan dan keinginan untuk mengubah nasibnya secara mandiri. Berita baiknya, ini tak ditemui di Provinsi ini. Masyarakat rela ber-swadana dan swakarya untuk mengembangkan potensi wisata sebagai mata pencaharian pilihan. Contoh ini ditemui di lokasi wisata Nagari Taram. Dimulai dari swadana sebesar sepuluh ribu Rupiah per Kepala Keluarga per minggu hingga swakarya membangun pondok – pondok kecil untuk kedai dan toilet semi permanen di lokasi wisata tersebut. Masyarakat Nagari Taram telah mempertahankan dan memperkuat social capital yang mereka miliki bahkan hingga setelah bantuan hibah masuk. Saat ini, wisata Nagari Taram yang dikelola di 800 hektar area Perhutanan Sosialnya telah menyumbang hingga 70% pendapatan asli nagari dan berhasil membuka peluang ekonomi kreatif bagi lebih dari 30 Kepala Keluarga dan sekitar 70 pemuda-pemudinya.
Integrated Area Development (IAD): Inovasi Baru
Konsep baru yang diusung dalam skema Perhutanan Sosial ini merupakan perencanaan wilayah terpadu yang menggunakan pendekatan landscape atau bentang alam sebagai satu kesatuan wilayah pengembangan. Model IAD sudah diadopsi di Kabupaten Lumajang (Provinsi Jawa Timur) dan Kabupaten Belitung (Provinsi Bangka Belitung). IAD menitikberatkan pada integrasi hulu hilir serta sinergi lintas sektor dan multi pihak, dalam suatu wilayah. Provinsi Sumatra Barat, melalui fasilitasi program Strengthening Social Forestry (SSF), sedang menyusun Masterplan IAD untuk Kawasan Harau Taram (Hatta) di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Pengembangan IAD harusnya mampu mengungkit kembali pesona dan membangkitkan kembali pergerakan Perhutanan Sosial setelah dikeluarkan dari program strategis nasional 2020-2024. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, Sumatra Barat akan lebih mudah mencapai target luasan Perhutanan Sosial yang dibebankan oleh KLHK kepadanya. Kebijakan dasar yang sudah ada tinggal diperkaya dengan mainstreaming IAD ke dalam visi misi dan perangkat peraturan Provinsi sebagaimana yang telah dilakukan dengan Perhutanan Sosial. Social capital dengan sendirinya akan semakin kuat jika masyarakat sudah mulai merasakan manfaat. Namun itu saja tidak cukup, mengapa? Pengembangan wilayah tidak akan terwujud hanya dengan payung hukum, social capital, dan sumber finansial daerah saja. Lebih dari itu, pelibatan sektor swasta dan lintas Kementerian (terutama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Perindustrian) dalam perencanaan dan implementasinya akan menjadi krusial. IAD, untuk daerah yang memiliki karakteristik kuat seperti Sumatra Barat, jika dikembangkan dengan tepat akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat diandalkan. Tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di 950 Nagari namun juga akan memutar giat perekonomian di Sumatra Barat seutuhnya. (*)