Oleh : Muhammad Shiddiq Putra
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)
KEADAAN dunia yang semakin berkembang di berbagai aspek, mulai dari perkembangan populasi, gaya hidup, hingga kebutuhan sehari-hari menuntut setiap Negara untuk menangani berbagai permasalahan energi yang harus sejalan dengan pemberdayaan sumber daya energi yang ramah akan lingkungan. Terkhususnya di Indonesia, Negara berkembang yang masih menggunakan energi tak terbarukan sebagai sumber daya listrik hingga saat ini, khususnya fosil.
Menurut data yang dihimpun dari situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia dari jangka waktu tahun 2020 hingga 2022, energi fosil masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 MW setara 85,31 persen dari total kapasitas terpasang nasional. Di posisi pertama ada batu bara yang menjadi sumber listrik utama di Indonesia. Jumlah kapasitas pembangkit listrik terpasang dari PLTU misalnya mencapai 35.216 MW setara 49,67 persen dari total kapasitas nasional 70.900 MW hingga Agustus 2020. Penggunaan energi fosil yang terus meningkat semakin menimbulkan kekhawatiran akan potensi kerusakan alam karena residu bakaran yang dihasilkannya. Hal tersebut memicu upaya perubahan energi tak terbarukan menjadi energi terbarukan.
Regulasi hukum pun mulai bermunculan di berbagai Negara, salah satunya Indonesia yang berupaya mewujudkannya dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Kehadiran RUU ini dianggap berpotensi mencegah kerusakan alam dan memodernisasikan sumber energi listrik di Indonesia. Akan tetapi, muncul berbagai polemik terhadap RUU yang merupakan bentuk perwujudan dari Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change tersebut, terutama terkait dengan regulasi penggunaan nuklir sebagai EBT.
Banyak ulasan para sarjana hukum dan organisasi non-pemerintah yang menyatakan bahwa RUU EBT bukanlah sebuah solusi di Tanah Air. Hal tersebut berdasarkan ditemukannya berbagai pasal karet dan ketidakjelasan arah aturan di dalam RUU EBT, yang di mana kebimbangan ini terkait dengan regulasi penggunaan nuklir sebagai EBT. Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Akmaluddin Rachim, mengatakan arah pengembangan energi nuklir dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) perlu dikaji ulang dikarenakan masuknya nuklir dalam pembahasan RUU EBT masih menjadi pro-kontra.
Dalam Pasal 6 RUU EBT menyebutkan bahwa sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir. Pasal 7 ayat (2) RUU EBT mengatur bahwa pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir.
Tidak adanya urgensi dan penjelasan yang memadai dalam Naskah Akademik RUU EBT terhadap pasal-pasal tersebut yang menggambarkan adanya kebutuhan mendesak dalam penggunaan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik membuat RUU ini menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Selanjutnya, pengaturan soal nuklir yang cenderung akan ditarik dari pengaturan induknya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, dan ketentuan yang telah dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang pada pokoknya menyebutkan pengembangan energi nuklir sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat. Indonesia sudah memiliki dua badan yang menaungi segala hal yang berkaitan dengan nuklir dan bergerak pada bidang penelitian dan riset, yaitu Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang mengawasi segala hal berkaitan dengan nuklir. Namun, keduanya belum bisa memberikan garansi yang nyata atas penggunaan energi nuklir sebagai bahan utama EBT di kemudian hari. BATAN dalam situs resminya menyatakan bahwa sebenarnya Indonesia sudah mengoperasikan tiga unit reaktor nuklir untuk keperluan penelitian serta beberapa fasilitas nuklir yang meliputi fabrikasi elemen bakar nuklir, produksi isotop, pengolahan limbah nuklir dan iradiator/akselerator, namun bukan digunakan untuk sumber tenaga listrik ataupun EBT.
Belum adanya garansi yang nyata atas dampak terhadap keselamatan penggunaan tenaga nuklir di Indonesia oleh BATAN maupun BAPETEN membuat urgensi percepatan penggunaannya sebagai bahan utama EBT belum bisa divalidasikan. Belajar terhadap kejadian Tragedi Nuklir Fukushima Daiichi Jepang 2011 akan memiliki kaitan yang erat dengan kondisi Indonesia. Mantan Presiden Indonesia Jusuf Kalla pada tahun 2015 pernah mengatakan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir dinilai belum bisa dibangun di Indonesia dikarenakan kondisi alam Indonesia yang rawan gempa serta ketersediaan energi lain, terutama EBT yang pada kesimpulannya membuat nuklir menjadi alternatif terakhir sebagai sumber pembangkit listrik. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Republik Indonesia dari masa ke masa selalu menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami dikarenakan kondisi geografis kepulauannya dan terletak di atas wilayah cincin api utama dunia, atau lebih dikenal dengan istilah ring of fire. Tragedi Nuklir Fukushima Daiichi Jepang 2011 terjadi karena meledaknya reaktor pada sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir di lepas pantai Fukushima, Jepang, yang dipicu oleh hantaman tsunami besar akibat gempa bumi pada 11 Maret 2011. Hal tersebut menyebabkan sebanyak 37 pekerja di sana cedera secara fisik, dan dua di antaranya terkena paparan radiasi nuklir hebat. Selain itu, terdapat dampak destruktif berbahaya yang ditimbulkan dari tragedi ini, yaitu radiasi nuklirnya menyebar hingga jarak 60 km, yang mengakibatkan sebuah kota bernama Tomika menjadi tercemar radiasi dan sebanyak kurang lebih 40.000 warganya diungsikan keluar kota. Tercatat hingga tahun 2020, Kota Tomioka masih menjadi kota mati di Fukushima dan belum pulih sepenuhnya akibat radiasi nuklir tinggi. Hal ini semakin memperjelas risiko keamanan dari penggunaan nuklir sebagai sumber utama EBT dalam pembangkit tenaga listrik, terutama di Indonesia.
Selain itu, nuklir bukan lah suatu hal instan yang didapatkan langsung begitu saja. Nuklir memiliki bahan dasar seperti Uranium yang notabenenya sebuah mineral alam. Hal ini akan membuka peluang munculnya berbagai pertambangan di penjuru Indonesia. Dengan dibukanya tambang mineral alam, sama saja dengan penghancuran lingkungan hidup dan ketidakstabilan ekosistem. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) yang turut diatur dalam RUU EBT tadi, bahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batuan (UU Minerba) sama saja seperti dihiraukan karena potensi pembukaan tambang yang bisa saja terus menerus dilakukan apabila nuklir dijadikan sebagai pokok utama sumber EBT. Destruksi nyata terhadap pemeliharaan dan keselamatan Lingkungan akan makin tampak nyata jika pembukaan tambang terhadap uranium dilakukan dengan alasan semata-mata mencari bahan baku pembangkit listrik tenaga nuklir. Belajar dari contoh pembukaan tambang bahan alam seperti timah dan batu bara yang meninggalkan bekas cekungan seperti danau galian tambangan yang banyak tersebar di wilayah Bangka Belitung dan Kalimantan Timur. Selain merusak bentang alam, geografis, dan keseimbangan ekosistem suatu wilayah, tentunya pembukaan tambang akan merusak estetika dan masa depan lingkungan juga. Hal ini selain dipandang dari aspek sains dan sosial, akan bertentangan juga dengan aspek yuridis dengan pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Menurut Pasal 22 ayat (2) UU PPLH, Amdal haruslah memerhatikan beberapa aspek seperti besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah penyebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, dan banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak. Pembukaan tambang baru dengan jelas akan menimbulkan dampak yang memengaruhi aspek Amdal serta melanggar beberapa baku mutu lingkungan hidup yang dapat ditemui dalam UU PPLH. Terkait dengan segala permasalahan yuridis terhadap lingkungan, kita tidak bisa melepaskan diri dari UU PPLH karena Ia bersifat sebagai umbrella act, yaitu aturan payung yang menjadi dasar dan landasan bagi peraturan perundang-undangan lainnya yang membahas hal serupa.
Negara kita adalah negara yang kaya akan potensi EBT lainnya, semisal yang dihimpun oleh Kementerian ESDM Republik Indonesia pada tahun 2023, yaitu seperti pencahayaan matahari menjadi tenaga surya sebesar 3.215 GW yang cukup sepanjang tahun dengan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Riau dengan intensitas radiasi yang tinggi. Selain itu, tenaga hidro yang melimpah di Indonesia dengan potensi sebesar 95 GW juga mampu Menjadi EBT yang tepat dan ramah lingkungan untuk menggantikan potensi nuklir yang belum memiliki urgensitas yang jelas dan minim dampak daripada nuklir, dengan contoh pemanfaatannya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Utara (Kaltara), Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Sudah sepatutnya lembaga penguasa legislatif dan pemerintah eksekutif serta berbagai ahli terkait merevisi RUU EBT dengan lebih bijak dan memperhatikan alam serta dampaknya terhadap Amdal dengan lebih detail. Bukan hanya modernisasi, peluang investasi dan ekonomi tersembunyi, ataupun cara instan. Jika ada yang lebih baik dan ramah Lingkungan serta minim dampak, mengapa kita tergesa-gesa menggunakan nuklir sebagai pengganti energi tak terbarukan? Regulasi hukum haruslah kuat untuk mengatur sumber energi yang berkaitan dengan lingkungan ini, semata-mata untuk kesejahteraan dan keamanan negara Indonesia.(*)