Infosumbar.net – Nan Jombang Dance adalah perusahaan tari kontemporer terkemuka di Indonesia. Berbasis di Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru, Padang, Sumatera Barat, Tari Nan Jombang berakar dari tradisi seni bela diri, tari, dan tabuh Minangkabau. Perusahaan berusaha untuk melestarikan tradisi lokal di samping praktik kontemporer.
Pada 1 November 2022 esok, sanggar seni Nan Jombang berusia 39 tahun. Kurun waktu yang tidak sebentar untuk sebuah pergerakan seni dan budaya. Masa perjuangan, masa melelahkan hingga ujian-ujian luar biasa sudah jadi jejak sejarah para pekerja seni ini. Tapi itu tidak membuat mereka berhenti, karena bidang yang sudah dipilih harus dijalani.
Menelisik sejarah berdirinya Nan Jombang, Pendiri sekaligus Artistic Director Nan Jombang Dance, Ery Mefri, Jumat (02/09/2022) mengatakan Nan Jombang berawal dari grup yang didirikan pada tahun 1983, Nan Jombang sering disingkat menjadi NJ. Sedangkan Nan Jombang itu bagi masyarakat Minangkabau, diperuntukan pada laki- laki yang berarti ganteng, beribawa, dan cerdas.
“Pada tahun 1982 saya ke Padang jadi pegawai taman budaya. 1 November tahun 1983 saya mendirikan grub Nan Jombang di Taman Budaya, NJ itu singkatan dari nama Ibu dan Bapak saya yang berarti Nurjannah (N) Jamin (J), Alhamdulillah sampai sekarang aman-aman saja,” ucapnya pada obrolan dengan wartawan infosumbar.
Dari obrolan sore itu, Ery mengungkapkan pahit getir perjalanan Nan Jombang yang didirikan pada 1983. Ketika itu anggota grup berjumlah 13 orang. Kumpulan anak muda yang menjadikan kesenian sebagai bahan berkarya. Mereka tidak terlalu memikirkan apakah karya mereka mendapat tempat untuk pertunjukan, yang jelas saat itu mereka gila berkarya.
Terbentuknya grup seni, tidak serta merta melahirkan hasil yang membahagiakan bagi mereka. Setidaknya, perjuangan berdarah-darah selama 25 tahun yang dilalui Nan Jombang tidak saja soal kebutuhan yang mendesak, tapi juga bermacam masalah yang tersirat, apalagi banyak anggota yang keluar masuk silih berganti. Hingga akhirnya menjadi perusahaan tari kontemporer terkemuka Indonesia yang memiliki kualitas dengan prestasi yang sangat membanggakan.
“Diawal-awal Nan Jombang hanya memiliki kegiatan latihan dan berkarya, hanya itu saja. Pada tahun 1988 di Padang hanya ada 4 grup yaitu Indojati, Sofyani, Nan Jombang, dan Alang Babega. Tahun itu rasanya yang banyak dapat perhatian dari Negara dan Pemda itu Indojati dan Sofyani, sedangkan Nan Jombang kok kayak kurang. Berangkat dari itu saya punya statement kalau ga punya kesempatan kenapa ga bikin kesempatan,” ceritanya sembari mengenang perjuangan di masa-masa sulit itu.
Pada tahun 1988 Ery Mefri membuat festival yang mengundang beberapa teman di Sumatera dengan nama Gelanggang Tari Sumatera, berawalnya 3 Provinsi, setelah itu se-Sumatera, dan se Indonesia sampai festival itu berkembang sampai keluar negeri.
“Jadi Nan Jombang mengenalkan diri melalui festival, kegiatan itu kita yang membuat kami dan kami juga peserta jadi pelan-pelan saja, lalu saya ubah namanya menjadi Padang Bagalanggang pada tahun 2001 dan pada tahun 2014 saya ubah lagi namanya menjadi Kaba Festival sampai sekarang,” lanjutnya.
Sejak Nan Jombang ada, mereka tidak pernah membawakan karya orang lain. Penampilan mereka selalu membawakan karya sendiri. Pada tahun 2004, Ery mulai menemukan jati diri di dunia seni tari. Ketika itu dia memang sedang getol bergaul dengan kesenian randai. Hampir empat kali dalam seminggu, selama tiga tahun dia berkutat dengan randai. Hal ini kemudian mewarnai karya-karya koreografi yang ia hasilkan. Dari perjalanan itu, lahirlah karya terbaru Nan Jombang berjudul ‘Sarikaik’. Dengan warna dan karakter yang mulai didapat, karya-karya berikut pun hadir, yaitu Rantau Berbisik dan Sang Hawa.
“Tahun 2004 memang luar biasa sekali karena penderitaan belum selesai, itu baru awal. Menjadi titik balik perjuangan, walaupun belum bergerak tapi pada saat itu udaranya sudah berbeda, Nan Jombang mulai dikenal, perasaan dan harapan itu udah semakin jelas, wah di sinilah hidup saya dan di sinilah saya harus melangkah dan tidak akan merubah langkah itu. Nan Jombang memakai karya saya sendiri jadi tidak pernah memakai karya orang lain dan saya berkarya terus menerus sampai sekarang. Sarikaik menjadi cikal bakal. Kemudian, Rantau Berbisik tercipta pada 2007, ini juga jadi menandai Nan Jombang mulai melewati gerbang dunia,” kata pria 64 tahun ini.
Di tahun itu, Nan Jombang mulai mendapat undangan manggung dari luar negeri, waktu itu di tiga kota di Australia. Tapi kabar bahagia, selalu diiringi kabar duka. Tiga jam sebelum keberangkatan, datang kabar kalau ayahnya meninggal dunia. Waktu itu dia sempat ragu berangkat, tapi kemudian dia memilih untuk tetap pergi ke Australia.
“Nan Jombang tidak serta merta lansung besar dan dikenal seperti sekarang, Saya keluar negeri baru tahun 2007, butuh 25 tahun dulu menderitanya kami mengolah diri saja dengan segala suka, duka dan penderitaan,” ucapnya
Hal yang sama juga sempat ia rasakan pada 1994, saat itu Ery mendapat kesempatan workshop di Amerika, lalu setelah delapan hari di sana, kabar duka datang dari kampung halaman, anak keduanya meninggal dunia karena tipus.
“Duka banyak, tapi pilihan hidup harus tetap dijalani. Penderitaan berproses sulit untuk diceritakan semuanya,” kata Ery.
Dengan tur internasional pertama pada tahun 2004, Nan Jombang terus berkembang menjadi perusahaan kontemporer yang terkenal secara internasional dengan pusat koreografi dan tempat teater yang berkembang, Ladang Tari di tepi Padang, Sumatera.
Tari Nan Jombang menjunjung tinggi daya tahan, disiplin yang ketat dan integritas tidak hanya di atas panggung dan di ruang latihan tetapi sebagai filosofi inti yang telah mengarahkan perusahaan melalui berbagai kesulitan termasuk gempa Padang 2009 yang menghancurkan ruang latihan mereka dan merenggut nyawa lebih dari 1000 orang, melukai 3000 lebih lanjut.
Perusahaan beroperasi baik sebagai perusahaan tari internasional dengan badan kerja yang signifikan dan juga sebagai fasilitator penting dari program komunitas, termasuk pendampingan, kelas dan festival lokal dan internasional. Perusahaan memainkan peran yang sangat berharga dalam komunitas Sumatera Barat dan lanskap seni pertunjukan kontemporer Indonesia. (Nou)