Oleh: Lismomon Nata (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang)
infosumbar.net – Apa yang dicari manusia dalam kehidupan di atas dunia ini? Mungkin saja banyak hal yang dapat disebutkan. Akan tetapi bila diklasifikasikan, maka kita akan menemukan jawaban, pangkat atau jabatan, penghargaan, penghotmatan atau materi yang melimpah ruah serta banyak hal lagi. Normalnya, hampir seluruh manusia menginginkan hal-hal yang terkait dengan benda-benda yang dapat memenuhi hasrat dan kebutuhan hidup. Namun, semuanya itu akan bermuara pada satu kata, yaitu kebahagiaan. Meskipun kata bahagia juga akan memiliki pemaknaan dan interpretasi yang berbeda bagi setiap orang, sehingga yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah ada standar kebahagiaan tersebut bagi setiap orang? Entahlah. Namun yang jelas, bagi umat muslim satu hal yang menjadi cita-cita mereka pada hakekatnya adalah untuk mencapai kebahagiaan dan selamat, baik pada kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menganalisis tentang beberapa fenomena keluarga di Indonesia yang terkait dengan aspek lingkungan sosial. Di mana pertama, keluarga Indonesia hari ini telah mengalami perubahan fungsi. Baik fungsi peran dan status sosial yang ada dalam keluarga maupun fungsi lembaga-lembaga sosial yang ada, seperti halnya lembaga pendidikan,sekolah maupun lembaga masyarakat (kehidupan sosial). Contohnya perubahan pada status sosial dan peran sosial suami dalam keluarga saat ini tidak hanya sebagai kepala rumah tangga, status tersebut bisa saja digantikan oleh ibu atau anaknya. Maka tidak jarang kita melihat kehidupan keluarga orang tua tunggal (single parent) atau anak yang tidak lagi “memiliki” orang tua dan mereka menjadi kepala keluarga yang akan menanggung perekonomian adik atau kakak maupun anggota sanak famili lainnya atau mereka memilih untuk hidup dan bertanggung jawab dengan kehidupan mereka sendiri.
Perubahan status sosial tersebut berimplikasi terhadap peran sosial mereka pula dalam proses kehidupan individu dan sosial. Misalnya istri tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhannya secara individu, namun juga suami, anak bahkan sanak saudaranya serta lingkungan yang juga dikenal dengan konsep tripel burden (peran reproduksi, peran produktif, dan peran sosial). Fenomena yang dialami oleh perempuan berkeluarga tersebut, secara awam dapat memberikan pengertian bahwa pandangan secara gender seringkali dianggap sebagai hal yang biasa serta normal karena memang perempuan merupakan makhluk yang kuat dan tugasnya memang begitu sejak dulu kalanya. Akan tetapi tanpa disadari akan memiliki dampak yang cukup signifikan dalam fungsi keluarga, terkhususnya fungsi reproduksi dan fenomena ini dapat saja menjadi pemicu untuk munculnya masalah dalam keluarga pula, seperti perselingkuhan (affair) yang bisa juga menjadi salah satu sebab perceraian.
Hal tersebut disebabkan karena alasan logis saja, yaitu saat perempuan (istri) yang notabene-nya juga adalah manusia apabila mereka melakukan aktivitas yang banyak tentu akan membutuhkan energi yang banyak pula, sehingga ketika berada di rumah seringkali dalam keadaan lelah, letih, lesu, lemah bahkan tidak jarang stres pada tahap tidak normal, bisa saja karena beban atau masalah pekerjaan hingga pertemanan (relasi sosial di ranah publik), sehingga tidak memiliki kondisi fisik dan psikis untuk melakukan hubungan seks. Kondisi fisik dan psikis tersebut pula diantaranya yang menyebabkan hubungan suami istri tidak “berkualitas” dan “harmonis”. Bisa saja secara awam pula sebagian orang menganggap hal tersebut adalah hal yang biasa, akan tetapi apabila akumulatif masalah tersebut tidak dapat “disiasati” dan dipahami dengan baik, seperti diutarakan di atas, maka dapat menjadi pemicu masalah dalam keluarga, seperti halnya bak api dalam sekam.
Fenomena itu cenderung abai bagi sebagian besar orang. Hal tersebut kadang dianggap sepele, karena memang pasangan belum atau bahkan tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman yang cukup akan arti penting hubungan seks bagi pasangan suami istri dengan penuh kesadaran. Padahal hal tersebut juga merupakan satu dari tiga hal yang dapat menjaga keutuhan rumah tangga, yaitu keintiman (intimacy). Bagi laki-laki (suami), seks layaknya seperti makanan, yaitu makanan biologis dan sekaligus makanan psikis bahkan rohani baginya, sehingga apabila hal itu tidak dapat terpenuhi secara baik, maka bisa saja ia akan ‘lapar’. Apabila di dalam keluarga laparnya tidak teratasi, maka daripada itu secara sosial muncul kata “jajan di luar” atau setidaknya bagaimana mengurangi hasrat seksualnya tersebut. Hal yang lebih menarik akan fenomena tersebut ada juga pameo, “kini tidak jarang alat menanak nasi, magic com lebih hangat dari istri di rumah”. Fungsinya tidak hanya dapat menjadikan padi menjadi nasi untuk membuat perut kenyang, akan tetapi dapat menjaga kehangatannya 24 jam.
Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menawarkan setidaknya delapan fungsi keluarga untuk menciptakan keluarga yang ideal, yaitu fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan. Dari delapan fungsi tersebut bagaimana BKKBN sebagai institusi yang bertugas untuk selain mengatur jumlah penduduk agar tetap seimbang secara kuantitatif, namun juga dapat mengupayakan agar penduduk Indonesia ini memiliki kualitas yang baik dan bagus pula, menjaga ketahanan keluarga, merawat ketahanan remaja sebagai fase yang nantinya akan berkeluarga.
Secara lebih mendalam dapat kita pahami delapan fungsi keluarga tersebut mempersiapkan individu Indonesia mulai dari menanamkan nilai-nilai (values), baik secara mental spitual, nilai-nilai adat istiadat, keharmonisan keluarga dan masyarakat hingga lingkungan alam dan lingkungan sosial sekalipun. Akan tetapi apabila kita amati lebih jauh kini, seperti yang diutarakan di atas nilai tersebut telah mengalami pergeseran dan berobah. Kenyataannya, cenderung dari keluarga menyerahkan anak-anaknya kepada berbagai lembaga pendidikan agar anak mereka paham dengan spritual atau agama yang mereka anut dibandingkan dengan ketersediaan mereka (orang tua) dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak-anak mereka secara langsung. Hal ini kadang kala memang disebabkan karena sempitnya kesempatan orang tua dalam mengalokasikan waktu, hingga pengetahuan dan kecakapan orang tua yang memang kurang mamadai tentang spritualitas (agama) maupun nilai-nilai budaya mereka.
Orang tua, yang dahulunya secara peran untuk berada di ranah publik atau bekerja adalah suami dan istri berada pada ranah domestik (dalam keluarga), namun kini bisa saja terbalik, yaitu istri di ranah publik dan suami di ranah domestik atau bisa juga kedua-duanya berada pada ranah publik. Dengan adanya pola kerja di ranah publik, tentu akan membutuhkan waktu dan ruang yang berbeda dengan tempat tinggal mereka bahkan berjarak jauh, sehingga tidak mengherankan juga membutuhkan waktu yang lama berada di ruang publik, baik apakah kantor atau tempat bekerja mereka, baik pada wilayah yang sama atau berbeda. Minimal waktu yang digunakan untuk bekerja standarnya delapan jam, belum lagi ada kata lembur dan macet di perjalanan pulang. Hal ini tentu juga akan berdampak bagi anak-anak secara langsung atau tidak untuk mereka merasakan, apalagi saat anak-anak yang sedang masa pertumbuhan, sehingga banyak kehilangan momen-momen saat anak mereka tumbuh dan kembang. Maka daripada itu, ada setidaknya dua hal yang mesti dilakukan. Pertama untuk kembali memahami arti penting pendidikan dan pengetahuan, seperti mulai dari perencanaan dalam keluarga, kelas nikah, konseling pra nikah, kesadaran akan peran dan status sosial, hingga menjaga fungsi lingkungan, baik lingkungan alam, seperti peduli akan keberlangsungan flora dan fauna (biotik) dan udara, air serta tanah (abiotik) serta menciptakan lingkungan sosial yang baik dan sehat melalui kontrol sosial dan transfer nilai serta norma yang ada dalam kehidupan bersama, baik budaya dan sosial.
Adapun dua hal penting untuk melahirkan, menjaga dan merawat harmonisasi dalam keluarga selain keintiman tersebut adalah mesti diperkuat dengan adanya “kehangatan” (eagerness), mungkin di sinilah istilah bahwa berkeluarga itu adalah seni pula. Apabila saat baru-baru berkeluarga (menikah) keintiman itu kuat dirasakan, kehangatan dapat dirasakan dengan baik, maka perlu untuk mempertahankannya saat, lima, sempuluh, dua puluh hingga masa tua kelak, kedua hal penting tersebut memiliki pondasi utama, yaitu komitmen (commitment), karena tanpa adanya komitmen dari pasangan, anggota keluarga, maka semuanya akan membuat keluarga menjadi “dingin”, mudah rapuh, patah, tidak dapat dipertahankan bahkan hancur. (*)