Oleh: Lismomon Nata, S.Pd, M.Si, Cht
(Ketua Pokja Ketahanan Remaja Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat)
Infosumbar.net – Beberapa tahun yang lalu, tepatnya setelah dikeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun 2014, maka setiap tanggal 29 Juni dirayakan sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas), meskipun belum menjadi hari libur nasional. Semangat hari keluarga tersebut diambil dari historis Kota Jogyakarta saat itu menjadi Ibukota Negara Indonesia Serikat (RIS) resmi dikosongkan dari tentara Belanda dan digantikan oleh tentara Indonesia pada tanggal 29 Juni 1949. Maka, saat itu dinyatakan Jogyakarta kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah beberapa waktu diduduki oleh Belanda ketika Agresi Belanda II.
Peristiwa itu menjadi simbol bergabungnya para prajurit Indonesia dengan keluarga mereka. “Namun bukan sekedar hari keluarga untuk sebuah keluarga, tetapi lebih jauh dimaknai sebagai harinya keluarga nasional yang bersatu dan berjuang untuk kesejahteraan bersama” (Haryono Suyono).
Peringatan Harganas pertama kali dicanangkan pada tahun 1993 dan dilaksanakan satu tahun setelahnya 1994 yang digelar di Sidoarjo, Jawa Timur dan tahun 2023 ini akan diperingati di Provinsi Sumatera Selatan untuk peringatan yang ke-30 dengan tema ‘Menuju Keluarga Bebas Stunting, untuk Indonesia Maju’. Jika kita lihat dari jumlah peringatannya, maka lebih dari usia perak, sehinnga tentu sudah semestinya semangat zaman (zeitgeist) yang melahirkan Harganas telah memberikan pembelajaran dan arti penting keluarga dalam sebuah bangsa negara atau setidaknya seperti hal yang diungkapkan oleh Cicero, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Namun, ternyata kita semakin menyadari bahwa kehidupan bukanlah persoalan hitam atau putih saja, melainkan banyak warna.
Artinya, dalam kehidupan manusia begitu banyak peristiwa terjadi yang kadang kala di luar akal sehat manusia, termasuk dalam kehidupan berkeluarga. Namun, semuanya itu tentu memberikan banyak pembelajaran hidup bagi siapa saja yang mau memikirkannya. Dimana keluarga tidak hanya bersifat fungsional saja, yang memberikan ketenangan, kedamaian dan perlindungan serta kebahagiaan bagi kehidupan orang-orang di dalamnya, akan tetapi juga penuh dengan pertentangan-pertentangan, konflik, hingga prilaku kriminalitas.
Dengan demikian muncul pertanyaan, “apakah benar keluarga menjadi sesuatu yang paling dirindukan dalam kehidupan seseorang, apalagi di tengah zaman now ini?” Contohnya, mungkin masih cukup hangat dalam ingatan kita peristiwa yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu cerita bagaimana seorang istri yang membunuh suaminya karena merasa tertekan akbiat KDTR. Di mana pada awalnya, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan oleh orang-orang terdekat atau antar keluarga mereka.
Sebuah realita yang mempertontonkan bahwa begitu banyaknya kasuistik kusut masainya kehidupan rumah tangga. Dimana orang-orang di dalam keluarga (suami, istri, anak) bahkan sanak famili (pada keluarga luas) tidak lagi dapat menjadi teman untuk membicarakan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi, sehingga membutuhkan pihak lain atau institusi di luar keluarga mereka, seperti untuk menyelesaikan masalah keluarga membutuhkan mediator profesional, psikolog, konsultan perkawinan hingga ranah hukum atau jenis layanan jasa lainnya.
Dengan demikian, layaknya seperti sebuah tanaman, keluarga yang telah dibangun tentu perlu untuk dirawat, semak belukar di sekelilingnya haruslah dibersihkan dan benalu yang mungkin saja dapat membunuh tanaman mesti dihindari, bahkan dibunuh sebelum merusak.
Demikian juga dengan sejak beberapa tahun belakangan ini, Indonesia dihadapkan pada persoalan stunting. Di mana besarnya risiko gagal tumbuh kembang anak mulai dari umur nol tahun hingga dua tahun karena disebabkan karena kekurangan gizi atau infeksi kronis. Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan sejak beberapa tahun lalu telah terjadinya penurunan terhadap prevalensi stunting, terutama sejak tahun 2013 lalu, yaitu di angka 37,2 persen kemudian turun pada tahun 2019 menjadi 30,8 persen, hingga menjadi 21,6 persen pada tahun 2022 lalu.
Hal ini tentu menjadi berita yang sangat menggembirakan ketika angka prevalensi tersebut terus menurun, meskipun lembaga kesehatan dunia, WHO mengklaim bahwa apabila pada sebuah negara angka stuntingnya di atas 20 persen, maka memberikan asumsi bahwa negara tersebut mengalami masalah kesehatan yang cukup serius. Oleh karena itu, Presinden Joko Widodo menitipkan pesan agar pada tahun 2024 nanti angka stunting dapat mencapai angka 14 persen.
Asumsi penulis target tersebut secara optimistic dapat saja terwujud apabila komitmen dan konsistensi dari semua elemen yang ada pada negara bangsa Indonesia ini untuk secara bersama-sama dan secara terus menerus selalu fokus terhadap penurunan angka stunting tersebut. Hal tersebut tentu tidak hanya dari pemerintahan saja, melainkan juga keterlibatan dan masyarakat bahkan dapat digunakan strategi melalui pendekatan pentahelix, yaitu keterlibatan dari lima unsur yang dapat menjadi kekuatan dalam keberhasilan program, seperti dari unsur akademis, pihak swasta, media, komunitas di samping pemerintahan itu sendiri.
Secara regulasi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Di mana uapya tersebut dilakukan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara pemangku kepentingan baik pada tingkat pusat hingga daerah. Pada tataran praktinya upaya tersebut telah melibatkan beberapa kementerian atau lembaga terkait pada pemerintahan pusat hingga gubernur dan walikota/bupati pada pemerintahan daerah, maka dibentuklah Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) pada daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Di samping itu juga dilakukanlah gerakan bersama berupa charity dengan adanya Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS) atau dilakukannya program Dashyat (Dapur Sehat Atasi Stunting). Dengan harapan dapat menyentuh langsung pada sasaran.
Namun, tentu ada kesadaran bersama sebagaimana pandangan para ahli bahwa untuk mengatasi stunting mestilah secara komprehensif, mulai dari hulu ke hilir, yaitu perlunya perhatian serius saat 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), dengan memperhatikan gizi ibu dan janin dalam rahim. Nah, ini tentu juga berawal dari remaja, ketika disadari bahwa remaja merupakan fase terpenting dan genting serta menentukan saat hamil nantinya. Artinya, bagaimana pola prilaku dan gaya hidup masa remaja akan memberikan pengaruh yang besar saat hamil, terkhususnya remaja putri.
Dapat dibayangkan apabila remaja putri saat mereka remaja pola hidupnya tidak sehat, maka tentu dapat diprediksi akan berpengaruh saat ia nanti hamil terhadap kesehatan dan kesiapan, baik secara gizi, fisik maupun psikis. Maka perhatian sejak dini, remaja merupakan fase yang perlu mendapat perhatian khusus pula dalam pencegahan risiko stunting.
Oleh karena itu Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKN) memiliki program Ketahanan Remaja, diantaranya adalah program Pusat Informasi Konseling Remaja/Mahasiswa (PIK R/M) baik secara formal melalui sekolah, maupun jalur masyarakat dan program Generasi Berencana (GenRe). Melalui program ini di samping menghindari generasi remaja (muda) dari triad KRR, tiga risiko bagi remaja, yaitu berisiko terlibat Narkoba, risiko HIV/AIDS, dan risiko menikah pada usia anak, akan tetapi juga bagaimana memberikan edukasi untuk persiapan kehidupan berkekuarga mereka secara terencana. Dengan harapan mereka lebih siap untuk melewati fase-fase kehidupan mereka untuk mempersiapkan masa depan Indonesia lebih maju.
Adapun tawaran yang dapat dilakukan dalam momentum Hari Keluarga Nasional (Harganas) ini adalah dengan cara merawat keluarga yang telah dibangun selama ini, yaitu dengan beberapa cara. Diantaranya adalah, pertama sebaiknya tentu diawali dengan pikiran, sikap dan prilaku baik pada pasangan dan orang-orang yang ada di dalam keluarga.
Sangat ironi memang, ketika mengatakan cinta atau menyayangi seseorang, namun pikiran tetapi munyudutkan, sikap dan prilaku yang menyakiti mereka. Misalnya diawali dengan pikiran yang buruk terhadap pasangan, sikap yang tidak membuat diri pasangan merasa dikecilkan atau melakukan pemukulan. Justru sebaliknya, hal yang sebaiknya dilakukan adalah bagaimana menanamkan persepsi baik kepada pasangan, selalu berdoa akan kebaikan dalam hari-harinya dan dapat merasakan kebahagiaan saat bersama kita. Begitupun terhadap bersikap dan memperlakukannya dengan baik.
Demikian juga sekaitan dengan stunting, di mana para anggota keluarga mestilah memberikan penanaman pemahaman terhadap kata cantik kepada perempuan, seperti perempuan cantik itu tidak mesti langsing, sehingga tidak mengharuskan mereka tidak mengkonsumsi makanan secara baik dan berimbang, yang menyebabkan risiko kurang gizi. Justru sebaliknya, yaitu memberikan pengetahuan tentang pentingnya kecukupan darah, gizi, makanan yang cukup untuk beraktivitas dan melanjutkan kehidupan.
Kedua, memberikan kesempatan untuk secara bersama-sama berkembang dengan memegang prinsip untuk saling jujur dan saling mengotrol dengan baik juga antar sesama. Hal ini dikarenakan bisa saja tidak adanya keseimbangan antara pasangan atau anggota keluarga lainnya, seperti anak, sehingga menjadikan istri atau suami atau anak menjadi minder, jenuh, atau merasa tidak berdaya yang membuatnya murung, tertekan dan bersedih hati. Baik dalam persoalan karir maupun pergaulan. Ketiga, pentingnya membangun komunikasi, face to face, berdiskusi dan merencanakan kehidupan secara bersama-sama. (*)