Kawasan perairan Pulau Pasumpahan, Kota Padang, Sumatera Barat, relatif cocok sebagai lokasi penyelaman bagi para pemula. Sekalipun begitu, para penyelam tetap mesti bersiap dengan kemungkinan penyakit dekompresi.
Para penyelam juga mesti bersiap beroleh pemandangan berupa hamparan terumbu karang yang rusak dan tertutup lapisan sedimen.
Selain itu, endapan sampah rumah tangga seperti yang ditemukan pada penyelaman di kedalaman 18 meter, Minggu (6/5/2012), juga akan relatif banyak dilihat. Pulau Pasumpahan menjadi relatif sesuai karena arus laut di lokasi itu relatif tenang. Tingkat kedalaman laut yang dicoba juga relatif bervariasi.
“Jika penyelam pemula dibawa ke lokasi lain, kemungkinan arus lautnya lebih besar dibandingkan dengan Pulau Pasumpahan,” ujar penyelam Yayasan Minang Bahari, Armed.
Kemungkinan untuk diserang panik di kedalaman juga menjadi relatif tinggi. Kepanikan bisa meningkatkan risiko penyakit dekompresi (decompression sickness) pada penyelam. Penyakit ini diakibatkan kadar nitrogen terlarut saat menyelam membentuk gelembung dan menyumbat sistem saraf serta darah.
Bila penyelam terlalu cepat naik ke permukaan dari kedalaman tertentu, gelembung nitrogen itu belum sempat dinetralisir tubuh sehingga kemungkinan terkena penyakit dekompresi cukup tinggi. Karena itulah penyelaman dengan kondisi tenang diperlukan.
Ini penting agar aturan dasar penyelaman dan naik permukaan secara perlahan bisa dilakukan. Gerakan naik ke permukaan secara perlahan dan berhenti di kedalaman tertentu penting untuk memberikan kesempatan bagi tubuh untuk menetralisir kadar nitrogen.
Penyakit dekompresi memiliki gejala seperti serangan stroke. Pada tingkat yang parah, penyelam lumpuh dan kemungkinan kematian.
Wisata Alam
Pendiri lembaga perjalanan wisata dan pelatihan Sumatra And Beyond, Ridwan Tulus mengatakan, Pulau Pasumpahan bisa dikembangkan menjadi kawasan wisata alam dengan potensi yang ada. Namun, hal itu mesti diikuti dengan pemberdayaan masyarakat sekitar, dalam hal ini warga Kelurahan Sungai Pisang, Kota Padang.
Juga mesti dilakukan dengan melindungi kebudayaan yang ada, sebut Ridwan yang juga pendiri Green Tourism Institute itu.
Sumber: KOMPAS.com