Kasus yang dialami Dirut Indosat Mega Media (IM2), yang masuk bui akibat kasus tuduhan korupsi pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G PT Indosat menyebabkan kekhawatiran di kalangan penyelenggara Jasa Internet di Indonesia.
Kekhawatiran tersebut disebabkan masuk penjaranya Indar, padahal apa yang dilakukannya telah sesuai dengan peraturan dari regulator telekomunikasi seperti Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Untuk itu Komunitas Penyelenggara Jasa Internet yang mengadakan pertemuan di Kantor Pusat Indosat berencana akan mengirimkan surat kepada Kementrian Kominfo dan Mahkamah Agung.
“Kami akan mengirimkan surat ke Kominfo minggu ini, untuk menanyakan status lisensi yang diberikan pemerintah kepada kami apakah masih berlaku atau tidak,” kata Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Semmy Pangerapan dikutip dari Detikinet.
Sementara surat kepada MA adalah untuk meminta fatwa dan menanyakan apakah izin yang dimiliki ISP bisa berdampak pada semua ISP di Indonesia, karena sebagian besar menggunakan skema bisnis yang sama dengan IM2.
Selain akan mengirimkan surat kepada Kementerian Kominfo dan MA, Komunitas Penyelenggara Jasa Internet juga akan menggalang aksi pita hitam sebagai bentuk keprihatinan.
Situasi ini sendiri membuat pengguna internet di Indonesia terancam tak dapat akses. Pasalnya jika jawaban MA menyatakan fatwa berlaku sama, maka penyelenggaran jasa Internet di Indonesia akan memutuskan koneksi, karena terancam masuk penjara.
Jika hal itu terjadi maka Indonesia akan mengalami kerugian dan dampak sangat besar. Diperkirakan setiap jam akan ada Rp 90 Miliar yang akan hilang, karena transaksi internet di Indonesia menghasilkan Rp 3 miliar per dua menit.
Indar Atmanto sendiri divonis 8 tahun penjara akibat kasus tuduhan korupsi pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G PT Indosat. Sempat mengajukan kasasi, namun usaha tersebut ditolak oleh MA.
Selain itu Indar juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan 6 bulan. Dan IM2 sendiri mendapat hukuman membayar uang pengganti senilai Rp 1.358.343.346.670.