Infosumbar.net- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2018 silam melaporkan bahwa populasi Harimau Sumatera hanya tersisa sekitar 603 ekor saja.
Populasi yang kian kritis tersebut tentunya menjadi renungan kita semua. Kendati telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi pada 1970-an silam, keberadaan dan habitat hewan dengan nama latin Panthera Tigris itu kian mengkhawatirkan.
Jika ditinjau lebih jauh, Indonesia pernah dihuni oleh tiga jenis harimau, yaitu Harimau Jawa, Harimau Bali dan Harimau Sumatera.
Namun, keberadaan dua dari tiga jenis harimau tersebut resmi dinyatakan punah. Kepunahan Harimau Jawa dan Harimau Bali disinyalir akibat dampak masifnya pembangunan oleh masyarakat, sehingga menyita habitat harimau maupun makanannya.
Forum Harimau Kita dalam laporan yang bertajuk Raja Hutan di Ujung Tanduk menjelaskan periode kepunahan dua jenis harimau tersebut. Tercatat, Harimau Jawa telah dinyatakan punah pada 1980-an silam. Adapun, nasib Harimau Bali lebih miris lagi; telah dinyatakan punah bahkan sebelum Indonesia lahir, atau lebih tepatnya pada 1930-an silam.
Tentunya, dengan satu-satunya jenis harimau lokal yang tersisa di Indonesia, kita tidak mau melihat Harimau Sumatera bernasib sama. Namun, keberadaan tiap tahun semakin menurun.
Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), setidaknya 50 Harimau Sumatera dibunuh di Indonesia setiap tahun antara periode 1998 sampai 2002, baik untuk diperdagangkan maupun akibat dari konflik manusia-harimau.
Ranah Minang dan Harimau
Sebagai daerah yang masih banyak terdapat kawasan hutan, Sumbar diharapkan menjadi daerah yang nyaman bagi Harimau Sumatera.
Forum Harimau Kita setidaknya mencatat ada 23 kantong habitat Harimau Sumatera yang tersebar di Pulau Sumatera. Dua di antaranya terletak di Sumbar, yakni di Taman Nasional Kerinci Seblat (daya tampung >70 individu) dan Pasaman (daya tampung <70 individu).
Adapun, populasi Harimau Sumatera di Sumbar, Balai Konservasi dan Sumber daya Alam (BKSDA) Sumbar mencatat setidaknya ada sekitar 120 ekor harimau di dua kantong tersebut.
Namun, permasalahan justru terletak di sini. Keberadaan pemukiman warga yang begitu dekat dengan habitat harimau, tak jarang menimbulkan konflik antar manusia dengan harimau.
Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono menjelaskan rincian jumlah konflik harimau-manusia. Kata dia, hingga Juli 2022 tercatat ada empat kali kejadian konflik harimau-manusia yang dilaporkan.
“Sedangkan pada tahun 2021, kami melaporkan adanya konflik harimau-manusia sebanyak 10 kali, lalu tahun 2020 ada sembilan kali,” kata dia dalam peringatan Global Tiger Day, Jumat (29/7/2022).
Teranyar, konflik Harimau Sumatera dengan warga terjadi pada akhir 2021 silam. Di mana, harimau yang nantinya diberi nama Maua Puti Agam itu masuk ke pemukiman warga di Jorong Pasak Timur, Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam.
Setelah 41 hari dicari, akhirnya BKSDA Sumbar berhasil mengevakuasi Maua Puti Agam tersebut.
Kata Ardi, penyebab kemunculan harimau ke pemukiman karena sumber makanan di habitatnya kian menipis.
“Di Sumbar, imbas adanya Porbi atau kegiatan berburu babi, membuat populasi babi hutan menurun. Kasus ini menyebabkan sumber makanan harimau menurun, sehingga mulai bermunculan ke pemukiman warga untuk mencari makan,” sebutnya.
Apalagi, lanjut Ardi, sejak ditemukannya Virus Flu Babi (African Swine Fever/ASF), puluhan ribu babi mati termasuk babi hutan di Sumatera. Berkaitan dengan itu, kasus harimau keluar dari hutan dan masuk ke pemukiman tiap tahunnya dilaporkan meningkat.
Selamatkan Keberadaan Inyiak Balang
Bertepatan dengan hari ini, Hari Harimau Sedunia atau Global Tiger Day (GTS) diperingati setiap 29 Juli. Peringatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya konservasi harimau, karena saat ini mulai terancam punah.
Diketahui, Global Tiger Day dirayakan di 13 negara yang hingga saat ini masih terdapat populasi harimau, termasuk di Indonesia.
Sebagai salah satu rumah bagi Harimau Sumatera, ada cerita menarik bagaimana masyarakat Sumbar memandang Raja Hutan ini.
Bagi masyarakat Minang, harimau tidak semata dikenal sebagai binatang buas saja. Hewan ini di perkampungan, memiliki pemaknaan luas dibandingkan hewan lain.
Menanggapi hal tersebut, Ardi Andono menuturkan masyarakat di Sumbar menyebut hewan ini sebagai “Inyiak Balang“.
“Patut kita contoh, bahwasanya masyarakat Sumbar telah beradaptasi dengan harimau sejak dulu secara turun-menurun,” ungkap dia.
Banyak cerita rakyat maupun legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Hal tersebut mengindikasikan betapa istimewanya ikatan antara manusia dan harimau.
Ardi juga menceritakan, saat proses evakuasi Maua Puti Agam pada Januari lalu, masyarakat mengupayakan untuk tidak melukai hewan tersebut.
Bahkan, setelah Maua berhasil diamankan Tim BKSDA, banyak di antara masyarakat yang meluapkan kesedihannya. “Mereka sedih karena Inyiak Balang atau penjaga kampungnya kami ambil,”tutur dia.
Kondisi ini hendaknya menjadi cerminan baik bagi masa depan Harimau Sumatera. BKSDA Sumbar menghimbau agar masyarakat, pemerintah, pengusaha maupun pihak lainnya untuk saling membahu menjaga kelestarian harimau ini.
“Sebagai wujud konservasi harimau Sumatera, Pemprov Sumbar sebetulnya telah mengeluarkan SE Gubernuh No. 522.5/3545/Dishut-2021 pada tanggal 14 Desember 2021 lalu,” terang dia.
Dalam aturan tersebut, terdapat pelarangan perburuan dan pembunuhan harimau, himbauan untuk menjaga habitat, serta menghindari potensi konflik harimau-manusia.
“SE tersebut juga meminta agar seluruh pihak dapat membantu BKSDA Sumbar dalam penanganan konflik harimau, serta mendukung program BKSDA dalam Sumbar Nagari Ramah Harimau,” tutupnya (Rma)