Infosumbar.net – Pohon Masoi (Cryptocarya Massoy), masuk ke dalam salah satu jenis tumbuhan penghasil HHBK unggulan Papua. Berdasarkan Jurnal Penelitian Kehutanan Faloak, tumbuhan ini mengandung senyawa masoilakton yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri makanan, kosmetik, dan obat-obatan.
Tumbuhan ini tersebar di beberapa wilayah di Papua seperti Manokwari, Sorong, Nabire, Biak Numfor, Yapen, Waropen, Merauke, Jayapura. Saat ini, permintaan global terhadap masoi diperkirakan mencapai 500.000 ton setiap tahun. Namun pasokan utama masoi masih sangat terbatas dari Indonesia (Papua) dan Papua Nugini. Kontribusi Indonesia dalam pemenuhan permintaan global ini tergolong sangat rendah yaitu sekitar 2%
Sampai sekarang, permintaan terhadap masoi masih sangat tinggi. Sedangkan pasokan masoi pada pasar internasional masih didominasi oleh masoi dari Papua. Hal ini mengakibatkan terjadinya overeksploitasi terhadap masoi di alam. Bila kondisi ini terus berlanjut, masoi dikhawatirkan akan punah.
Hal inilah yang membuat Tony Devisa, petani muda asal Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, mulai membudidayakan tanaman asal Papua ini, di Solok.
Tony, panggilan akrabnya, telah memulai menanam Masoi semenjak dua tahun lalu di Kayu Jao, Nagari Batang Barus.
“Selain permintaan akan Masoi ini tinggi, takutnya nanti menjadi langka. Makanya saya coba tanam di Solok dan ternyata dapat tumbuh dengan baik,” katanya kepada Infosumbar.net pada Selasa (21/3/2023).
Untuk itu, bibitnya dikirim langsung dari Papua yang ia tanam langung di ladang miliknya.
“Awalnya saya tanam sedikit, untuk mengetes kandungannya apakah dapat tumbuh di Solok, ternyata kandungannya bagus, dan mulai saya kembangkan,” tutur Toni.
Hingga kini, ia telah menanam pohon Masoi sebanyak 10.000 pohon yang tersebar pada 5 hektar lahan.
“Masoi ini kan baru bisa dipanen jika sudah berumur 10 tahun. Jadi, jika umurnya sekarang dua tahun artinya delapan tahun lagi baru bisa di panen. Itung-itung sebagai investasi,” sebutnya
Untuk itu, kata Toni, saat umurnya sudah cukup untuk panen, caranya hampur sama dengan panen kulit manis. Kulit pohon akan di ambil, disulingm dan minyaknya akan digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti parfum.
Harga perkilogramnya cukup tinggi yaitu mencapai Rp 125 ribu perkilogram.
“Jika kami kembangkan di Papua tentu pengeluaran biayanya lebih tinggi, jadi kami coba tanam di Solok agar biayanya bisa ditekan,” tambahnya.
Kemudian, untuk perawatan pohon cukup mudah yaitu dengan membersihkan gulma disekitar pohon.
“Tidak ada kendala dalam perawatannya. Cukup dengan membersihkan gulma disekeliling tanaman,” kata Alumni Binus University, jurusan Ilmu Komunikasi ini.
Untuk itu, ia harap nantinya Masoi yang mulai ia tanam dapat tumbuh dan berkembang di Solok, bahkan kepulau lainnya di Indonesia.
Sebelumnya, Tony sendiri juga telah menghibahkan lahannya seluas satu hektar untuk panti rehabilitasi narkoba.
Hal ini, ia lakukan sebagai bentuk kepedulian dan dukungan terhadap pemberantasan narkoba di Sumbar, khususnya di Solok. (Ayi)