Ada empat warisan Belanda yang sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi Sumatra Barat. Keempat warisan itu adalah, PT Semen Padang, Pelabuhan Teluk Bayur, Tambang batubara di Ombilin, dan jaringan jalan kereta api. Keempatnya, menjadi pilar transformasi sosiologis dan kultural yang dialami masyarakat sekitar satu abad silam.
Eksistensi PT Semen Padang yang kini menjadi sebuah entitas bisnis membanggakan bagi Sumbar, berawal dari penemuan batu-batu menarik oleh seorang perwira Belanda berkebangsaan Jerman, Carl Christophus Lau, pada 1906.
Carl Christophus Lau mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk pendirian pabrik semen di Indarung. Permohonannya disetujui lebih kurang tujuh bulan kemudian.
Christophus Lau kemudian menggandeng sejumlah perusahaan untuk bermitra, yakni Firma Gebroeders Veth, Fa.Dunlop, dan Fa.Varman & Soon, pada 18 Maret 1910. Ia lalu mendirikan pabrik yang bernama NV Nederlmidschhidische Portland Cement Maatschappij (NY NIPCM) dengan akta notaris Johannes Pieder Smidth di Amsterdam.
Kehadiran perusahaan ini menjadi tonggak sejarah berdirinya industri semen di Indonesia, karena merupakan industri besar pertama di Indonesia yang terdaftar di bawah Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan di Hindia Belanda. Pabrik semen di Indarung ini menjadi tonggak sejarah industri besar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Legalitas perusahaan semen itu berdasarkan “Koninklijke Bewilliging”, pada 8 April 1910, No 20. Pabrik ini berkantor pusat di Prins Hendrikade 123, Amsterdam dan kantor cabangnya di Padang.
Klin pertama pabrik semen Indarung selesai dibangun pada 1911 dengan kapasitas produksi 76,5 ton sehari. Klin kedua dibangun setahun kemudian, dengan kapasitas yang sama.
Pada awalnya, sumber energi listrik yang digunakan untuk mengoperasikan pabrik ini berasal dari pembangkit listrik Rasak Bungo, yang memanfaatkan air Sungai Lubuk Paraku.
Sementara bahan bakar pabrik menggunakan batubara Ombilin. Batu bara didatangkan dengan kereta api dari Sawahlunto ke Bukit Putus, tak jauh dai Teluk Bayur.
Dalam perjalanannya, pabrik ini terus mengalami perkembangan. Pada 1939, menjelang perang dunia II, pabrik ini mampu produksi 170.000 ton setahun, merupakan produksi tertinggi di kala itu. Waktu itu, pabrik ini memiliki kapasitas terpasang 210.000 ton.
Situasi politik pada masa lalu, amat berpengaruh kepada kepenguasaan pabrik semen ini. Jepang yang memenangkan perang dunia kedua, mengambil alih penguasaan pabrik dari tangan Belanda, setelah sekutu bertekuk lutut pada negeri berjuluk ”matahari terbit” itu .
Pada masa itu, manajemen perusahaan kemudian ditangani Asano Cement Jepang. Semua produksi pabrik ini digunakan untuk mendukung aktivitas militer Jepang. Penguasaan Jepang terhadap pabrik ini hanya bertahan lebih kurang dua dua tahun (1942-1944)..
Pada Agustus 1944, pabrik semen ini dibom tentara sekutu, dan mengalami kerusakan parah. Setelah zaman kemerdekaan, pabrik Semen Padang mengalami kondisi gonjang-ganjing.
Pada waktu kemerdekaan tahun 1945, pabrik ini diambil alih karyawan dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah tahun 1947.
Pada agresi Belanda 1947-1949, pabrik ini relatif tidak berfungsi. Belanda kemudian kembali menguasai alih pabrik dan pengelolaannya diserahkan pada perusahaan yang sebelumnya menangani pabrik ini.
Pada masa itu, meski Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, namun pabrik Semen Padang yang berganti nama menjadi NV Padang Portland Cement Maatshappi (PPCM), etap berada di bawah pengelolaan Belanda.
Namun pada 1958, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan Belanda di Indonesia.. Perusahaan kemudian sepenuhnya menjadi milik Indonesia sesuai amanat Undang Undang No 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi. Dalam uu ini ditegaskan bahwa semua perusahaan milik Belanda diserahkan pada Indonesia.
Oleh pemerintah, pengelolaan pabrik kemudian dipercayakan kepada Badan Penyelenggara Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT), yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 23 Tahun 1958, pada 26 Februari 1958.
BAPPIT sendiri bernaung di bawah kementerian Perindustrian. Ketika itu, J Sadiman ditunjuk sebagai direktur utama.Pergulatan politik dalam negeri juga mempengaruhi perjalanan sejarah Semen Padang. Produksi perusahaan ini sempat terganggu ketika terjadi pergolakan PRRI. Imbasnya, di akhir 1960-an itu, pabrik ini nyaris dilego menjadi besi tua.
Upaya melego itu akhirnya digagalkan Gubernur Sumbar Harun Zain. Harun menyelamatkan pabrik tersebut, dengan meminta pemerintah pusat agar memberi kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mencarikan jalan keluar.
Harun Zain kemudian meminta kepada Ir.Azwar Anas memimpin pabrik. Azwar sukses melakukan revitalisasi pabrik, sehingga pabrik ini bisa kembali ”survive”.
Pada masa-masa itu, status perusahaan juga mengalami perubahan. Berdasarkan PP No 135 tahun 1961, perusahaan itu berubah menjadi Perusahaan Negara Semen Padang.
Lalu pada 1971, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7, status Semen Padang ditetapkan menjadi PT Persero dengan akta notaris No.5 tanggal 4 Juli 1972.
Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No.5-326/MK.016/1995, pemerintah melakukan konsolidasi atas tiga pabrik semen milik pemerintah yaitu, PT Semen Tonasa (PT ST), PT Semen Padang (PT SP), dan PT Semen Gresik, yang terealisir pada 15 September 1995. Ketiga perusahaan itu berada dalam holding PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Sejak 7 Januari 2013, PT Semen Gresik (Persero) Tbk berubah nama menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di Jakarta pada 20 Desember 2012. Dan PT Semen Padang bersama PT Semen Gresik, PT Semen Tonasa dan Thang Long Cement Company Vietnam resmi menjadi bagian dari PT Semen Indonesia, perusahaan semen terbesar di Indonesia (*)
Sumber Foto: Dokumentasi PT Semen Padang