Infosumbar.net – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyayangkan putusan hakim Pengadilan Tinggi Padang Nomor: 119/PID.Sus/2024/PT.PDG yang memutus bebas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padang memutus pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan putusan 5 tahun 3 bulan. Ketiga hakim pengadilan tinggi terdiri Ridwan Ramli, Inrawaldi dan Charles Simamora.
Advokat Publik LBH Padang, Decthree Ranti Putri mengatakan bahwa putusan pengadilan tinggi tidak berpihak pada korban dan tidak mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
“Kasus ini merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami dari tante korban yang beberapa kali pernah tinggal serumah bersama korban,” katanya kepada awak media di Padang, Kamis (16/5/2024).
Dikatakannya, sejak awal kasus ini disidik Polda Sumbar telah mendapatkan noktah hitam. Kejadian kekerasan seksual yang dilaporkan pada 20 Agustus 2021 lama diproses sehingga pelaku yang berasal dari keluarga yang mapan dapat melakukan serangkaian upaya untuk menutupi kejahatannya.
“Polda Sumbar saat itu, melakukan penangguhan penahanan terhadap pelaku yang membuat keluarga korban dan pendamping kecewa. Situasi ini memungkinkan pelaku untuk melakukan counter terbebas dari pertanggungjawaban hukum,”” ungkapnya.
Dijelaskannya, drama demi drama kasus ini sejak di kepolisian menambah problem bagi korban dan keluarganya. Saat pemeriksaan Pengadilan Negeri Padang, hakim melanggar PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan Dengan Hukum sehingga Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi di depan Pengadilan Negeri Padang.
Didalam persidangan, korban malah mendapatkan intimidasi dan perlakuan tidak mengenakkan diruang persidangan, alih-alih ruang persidangan bisa sesegera mungkin memulihkan trauma korban dengan penegakan hukum yang adil, malah dalam hal ini korban mendapatkan luka dan trauma baru.
“Atas situasi ini, pendamping keluarga telah melaporkan ke Komisi Yudisial Penghubung Sumatera Barat yang sedang diproses saat ini,” jelasnya.
Drama kedua malah lebih dahsyat ketika Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi Padang memutus bebas pelaku kekerasan seksual karena keterangan saksi yang belum cukup. Lalu, apa gunanya scientific evidence yang dilakukan oleh kedokteran kehakiman melalui visum et repertum dengan hasil terdapat luka lama akibat benda tumpul sehingga selaput dara rusak.
“Perlu hakim mengetahui, dari awal kepolisian telah gagal untuk mencari kebenaran hakiki dan tidak berpihak pada keadilan dan perlindungan korban. Indikasi terletak pada penangguhan penahanan dan pelaku berasal dari keluarga kaya yang bisa melakukan intervensi langsung dan mempengaruhi saksi-saksi atas kasus ini,” ujarnya.
Dalam kasus ini, kata Decthree, korban telah melaporkan kasusnya sejak 20 Agustus 2021 lambannya proses penegakan hukum dan upaya intimidasi yang kami curigai telah terjadi kepada pihak korban anak angkat pelaku membuat pengungkapan fakta sebatas formalitas belaka, tanpa benar-benar menggali faktanya.
“Lambannya proses penegakan hukum merupakan pelanggaran HAM, terlanggarnya hak atas kepastian hukum dan keadilan segera untuk korban, hak atas pemulihan terhadap korban juga menjadi tidak maksimal dikarenakan ketidakpastian penegakan hukum,” katanya.
Pengadilan tinggi Padang pada tanggal 24 April 2024 telah memutus bebas menyatakan pelaku yang salah satu manager di PTSP dinyatakan tidak bersalah di tingkat banding dengan nomor perkara 119/Pid.Sus/2024/PT PDG dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri yang semula Peter Sazli dijatuhi hukum 5 tahun 3 bulan serta denda 100 juta pada nomor perkara 907/Pid.Sus/2023/PN PDG.
Putusan Pengadilan Tinggi Padang, banyak catatan keganjilan yang ditemukan dan sangat dirasa janggal. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Padang mendasarkan pada keterangan anak angkat yang melakukan bantahan atas keterangannya sebelumnya sebelum masuk ke ruang pengadilan.
“Padahal dalam keterangan dan temuan kami bahwa anak angkat tersebut juga merupakan korban dari pelaku. Namun Aparat Penegak Hukum gagal membaca relasi kuasa disini. Sehingga kuat kecurigaan kami anak yang dijadikan saksi untuk memberikan keterangan bantahan atas keterangannya sebelumnya telah mendapatkan tindakan intimidasi dan atau bujuk rayu agar pelaku dibebaskan,” katanya.
“Kami telah memiliki bukti yang kuat mengenai anak angkat tersebut juga adalah korban dari pelaku, namun menuju persidangan kami kehilangan koneksi kepada yang bersangkutan,” katanya lagi.
Selanjutnya hakim memutus bebas pelaku dengan pertimbangan saksi pelaku membantah semua keterangan saksi korban, tanpa mempertimbangkan bukti-bukti yang lain yang membuktikan pelaku bersalah.
Pelaku yang terus menerus melakukan bantahan tuduhan tidak mampu menghadirkan saksi alibi atau bukti kuat lainnya, bahwa keterangan terdakwa tidak bisa dipertimbangkan jika tidak didukung dengan pembuktian yang sah lainnya.
Kemudian keterangan keluarga sedarah yang memiliki hubungan kerabat dengan pelaku tidak dapat didengar keterangannya sebagaimana Pasal 168 KUHAP. Bahkan didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Pasal 25 ayat (1).
Dalam kasus ini, sudah mempunyai banyak bukti yang dilengkapi dengan beberapa orang saksi, alat bukti ilmiah seperti visum et repertum serta alat bukti lainnya. Namun tampaknya di Pengadilan Tinggi Padang yang tidak memiliki perspektif korban kesemua bukti tidak cukup membuktikan pelaku bersalah, atau patut dicurigai ada pengaruh faktor x lain.
“Oleh karena itu, kami mendesak agar Mahkamah Agung dengan serius mencermati permasalahan ini, dengan menerima Kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dan menghukum Pelaku dengan hukuman seberat-beratnya, dalam kasus ini juga Komisi Yudisial juga sedang mendalami dugaan pelanggaran Hakim dalam memeriksa perkara ini,” pungkasnya. (Bul)