Infosumbar.net – Hasil presentasi dari Ocean Sciences Meeting tahun 2020 lalu, memprediksi habitat terumbu karang bakal punah pada 2100 mendatang.
Hal ini didasari lantaran perairan yang semakin menghangat dan pengasaman laut, yang didasari oleh perubahan iklim ekstrim akhir-akhir ini.
Bahkan, mereka menyebut dalam dua dekade mendatang, kita bisa kehilangan 70-90 persen terumbu karang di dunia.
Sebuah alarm bahaya jika tidak diperhatikan secara serius.
Jika dilihat di Indonesia, berdasarkan laporan dari Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2018, Dari total 1067 tempat, 36,18 persen di antaranya dikategorikan jelek, 34,4 persen dikategorikan sedang. Hanya 22,96 persen mendapatkan predikat baik, dan 6,56 persen dinilai sangat baik.
“Secara umum, kondisi terumbu karang di wilayah selatan dan barat (terutama barat Sumatera) mempunyai kondisi yang jelek. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan yang ekstrim yaitu berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Selain itu, daerah-daerah tersebut juga merupakan lokasi yang rentan terhadap fenomena bleaching seperti yang terjadi di 2016,” kata Try Aryono, Peneliti Pusat Penelitian Oceanografi LIPI dalam laporan tersebut.
Hal ini cukup mengkhawatirkan, di mana karang di Indonesia masing-masing mewakili sekitar 69% dan 76% spesies karang di seluruh dunia.
Kendati demikian, laporan dari Al Jazeera pada 2 November 2021 lalu, studi menunjukkan bahwa Indonesia terdepan dalam urusan restorasi terumbu karang. Terbukti, ada 500 proyek pemulihan terumbu karang di sepanjang pantai dan laut di Indonesia.
Lantas, bagaimana nasib ekosistem terumbu karang di Sumatera Barat?. Berdasarkan laporan LIPI tahun 2018, terdapat 19 lokasi terumbu karang di dua wilayah berbeda, yakni di Kepulauan Mentawai dan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Pieh.
Hasilnya, hanya lima lokasi dikategorikan baik (26,31 persen), enam cukup (31,57 persen) dan delapan jelek (42,10 persen). Enam dari delapan lokasi yang disebut LIPI jelek, berasal dari Kepulauan Mentawai.
Potret Buram Terumbu Karang di Sumbar
Kepala Riset Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, Andre Bustamar menyebut kerusakan terumbu karang di Sumbar disebabkan oleh penegakkan hukum yang rendah.
“Seperti halnya kerusakan terumbu karang di Desa Palimo, Silabu Kecamatan Pagai Utara. Kerusakan tersebut dipicu pembangunan dermaga dan logpond kayu,” kata dia.
Tindakan tersebut, kata Andre, sangat melanggar aturan terkait terumbu karang. Seperti yang diketahui, terumbu karang harus dilindungi oleh hukum yang kuat seperti di tindakan kriminal karena melanggar Pasal 73 ayat (1) huruf a jo UU Nomor 27 Tahun 2007. Meskipun kerusakan terumbu karang adalah karena faktor alam. Kita semua harus bisa mengurus terumbu karang. Bahkan tidak menambahkan eksploitasi
Lanjut Andre, pemerintah seolah menunjukkan sikap abai saat melihat adanya aktivitas yang mengganggu terumbu karang, seperti pengangkatan kayu-kayu besar di pantai yang bersinggungan langsung dengan terumbu karang.
“Kasus di Pantai Polimo cukup mengkhawatirkan, sebab adanya usaha pengerukan dengan alat berat. Parahnya lagi, koral dari terumbu karang ini dipakai untuk bahan jalan atau dermaga,” sambung dia.
Selain itu, ia juga menyoroti UU Cipta Kerja yang lebih mengedepankan sanksi administratif dibandingkan sanksi pidana. “Kami juga mendesak Dinas KKP untuk mengeluarkan sanksi pidana, bukan sanksi administratif,” sebut dia.
“Tegaknya sanksi pidana mesti dilakukan sebab menjadi preseden yang baik bagi hukum kita,” timpalnya.
Andre menjelaskan bahwa Walhi turut menyoroti kondisi lingkungan di sekitar pesisir barat Sumatera. “Di Pessel, kami juga mencatat adanya perusakan hutan mangrove imbas adanya sebuah pembangunan,” terangnya.
Ia juga menyebut, banyaknya timbulan sampah di laut turut memberi dampak besar bagi kelangsungan makhluk hidup di terumbu karang.
“Sampah hasil aktivitas manusia, yang banyak muncul dari sungai dan wisata pantai tentu akan merusakan ekosistem laut,” imbuhnya.
Untuk itu, Andre menghimbau pemerintah lebih tegas lagi dalam memperhatikan kondisi perairan laut dan pulau-pulau kecil. Selain itu, pihaknya tak bosan-bosan terus mengampayekan isu lingkungan, baik itu secara langsung maupun lewat media sosial.
“Pemerintah harus lebih tegas lagi menindak oknum yang kebal hukum. Sebab ia seringkali tidak mengantongi izin pemanfaatan usaha laut dan merusak lingkungan secara besar-besaran.,” pintanya. (Ism03)