Infosumbar.net – Masjid merupakan tempat ibadah yang berperan penting dalam penyebaran agama dan kehidupan bersosial masyarakat. Masjid di Minangkabau selain menjadi simbol keislaman, juga memiliki peranan sebagai identitas kebudayaan.
Sebagian besar masjid di Minangkabau saat ini menggunakan bahasa Indonesia dalam khutbah Jumat dan ceramah agama. Selain alasan karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi, juga bertujuan agar khutbah yang disampaikan khatib dapat dengan mudah dipahami oleh jemaah.
Namun, terdapat beberapa masjid di Minangkabau yang masih menggunakan bahasa Arab dalam penyampaian khutbah Jumat. Salah satunya Masjid Al-Ihsan yang terletak di Jorong Galudua, Nagari Koto Tuo, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
Masjid yang berawal dari sebuah surau itu didirikan oleh Jemaah Tarekat Syattariyah yang dipimpin oleh Inyiak Syekh Angku Aluma pada tahun 1925 silam. Sejak saat itu hingga kini masjid tersebut tetap menggunakan bahasa Arab dalam khutbah Jumat.
Ketua Jemaah Tarekat Syattariyah Sumbar yang juga merupakan cucu dari Inyiak Syekh Angku Aluma, Tuanku Mudo Ismet Ismail menjelaskan penggunaan bahasa Arab saat khutbah dikarenakan seluruh amalan yang dilakukan pada hari Jumat diawali dengan niat yang berbahasa arab. Mulai dari niat mandi, wudu, salat sunah, dan rukun khutbah, keseleruhannya menggunakan bahasa Arab.
“Dua khutbah itu merupakan pengganti dari dua rakaat salat. Sebab salat Zuhur kan empat rakaat sedangkan Jumat hanya dua rakaat. Maka dua khutbah tadi merupakan penngganti dari dua rakaat yang hilang. Hal ini sudah kami lakukan dari dulu sampai kini,” katanya dalam wawancara yang ditayangkan kanal YouTube Info Sumbar pada 14 April lalu.
Masjid Al-Ihsan berdiri usai Inyiak Syekh Angku Aluma bersama para murid dan santrinya memutuskan untuk meninggalkan satu-satunya masjid yang terdapat di Jorong Galudua saat itu, yakni Masjid Al-Mubarak. Kala itu, khatib yang bertugas menyampaikan khutbah di Masjid Al-Mubarak menggunakan bahasa Indonesia.
“Terjadi modernisasi saat itu, banyak usulan yang disampaikan ke kakek saya agar khutbah dapat menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu akhirnya disetujui Inyiak Syekh Angku Aluma dengan catatan hanya dua atau tiga kalimat saja yang memakai bahasa Indonesia, selebihnya harus tetap pakai bahasa Arab,” kata Tuanku Mudo Ismet Ismail.
Merasa kesepakatannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya, Inyiak Syekh Angku Aluma beserta para santrinya memilih pindah dan melaksanakan salat Jumat di surau miliknya.
Peristiwa itu, kata Tuanku Mudo Ismet Ismail terjadi pada tahun 1925. Masyarakat Galudua yang mengetahui kejadian itu menawarkan Inyiak Syekh Angku Aluma serta santrinya untuk menggunakan Surau Kubu sebagai tempat untuk melaksanakan salat Jumat.
“Sejak itu salat Jumat dilakukan di Surau Kubu. Surau itu yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya masjid yang sekarang bernama Masjid Al-Ihsan. Mulai dari itu, sampai ke ayah saya, Haji Tuanku Mudo Ismail dan sekarang sampai ke saya, khutbah Jumat di sini dilakukan berbahasa arab,” sebutnya.
Jemaah yang melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Ihsan bukan hanya berasal dari Jorong Galudua dan Nagari Koto Tuo saja. Banyak juga jemaah yang berasal dari daerah lain, seperti Bukittinggi dan Padang Lua.
“Masyarakat sekitar yang ingin mendengarkan khutbah dengan bahasa Indonesia dapat melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Mubarrak. Saya mengimbau agar kita semua dapat bijak dalam menerima perbedaan pemahaman, baik itu dalam akidah maupun dalam amalan. Selama kita saling menghormati, tidak akan ada persoalan,” katanya.
Ia menjelaskan Tarekat Syattariyah bermazhab Syafii dengan iktikad ahlussunah waljamaah. Dalam penentuan Ramadan dan lebaran, jemaah Syattariyah menggunakan metode rukyah atau dengan melihat hilal.
“Metode penentuan Ramadan dan lebaran ini sudah berlangsung sejak kakek saya dan berlanjut hingga sekarang. Kami akan terus meneruskan apa yang menjadi amanat dari beliau,” ungkapnya.
Inyiak Syeikh Angku Aluma sendiri merupakan salah satu tokoh penyebar Islam di Nagari Koto Tuo. Selain merupakan ulama Tarekat Syattariyah, beliau juga merupakan ulama yang memiliki pengaruh cukup besar di tengah masyarakat.
Ia meninggal pada Agustus 1961 silam. Kini makamnya yang terdapat di kompleks pemakaman yang terletak di Jalan Raya Koto Tuo, Jorong Galudua, Nagari Koto Tuo, Kecamatan IV Koto menjadi salah satu cagar budaya tidak bergerak Kabupaten Agam.
Dalam kompleks pemakaman ini juga terdapat kuburan M. H Tengku Ismail yang tidak lain merupakan guru Inyiak Syekh Angku Aluma. Kuburannya berupa nisan yang berbentuk menhir dengan tinggi satu meter dan lebar 40 cm. (rga)