Infosumbar.net – Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dhamasraya (PRHSD) Yayasan ARSARI Djojohadikusumo, menyatakan seekor Harimau Sumatera bernama Puti Maua Agam mati pada Rabu (8/6/2022).
Sebelumnya, Puti merupakan Harimau Sumatera yang dievakuasi dari konflik harimau – manusia dari Jorong Kayu Pasak Timur Nagari Salareh Aie, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam pada 11 Januari lalu.
Harimau tersebut lantas mengalami rehabilitasi selama lima bulan di PRHSD ARSARI tersebut.
Kabar matinya hewan dengan nama latin Phantrea Tigris Sumatrae itu dikonfirmasi langsung oleh drh Patrick Flagellata.
“Kematian Puti ditandai dengan penurunan kondisinya sejak Mei silam. Adapun, pada 18 Mei 2022 lalu, Puti mengalami penurunan nafsu makan serta beberapa luka miasis,” kata dia.
Lanjutnya, kondisi Puti sempat membaik pada 27 Mei.
Namun, Puti kembali mendadak sakit dengan hipersalivasi sehingga dinyatakan mati.
“Hingga pada akhirnya, kehidupan Puti tidak dapat diselamatkan lagi pada 8 Juni 2022,” sebut Patrick.
Menjelang kematian, Tim Medis PR-HSD ARSARI menunjukkan nafas Puti sempat sesak (60 kali dalam semenit).
Tim juga memberi atropin sulfat dan nebul Salbutamol kepada Puti.
“Kami menyuapinya dengan menggunakan batang kayu yang diisi pakan daging, namun Puti tidak memakannya,” terangnya.
Setelah kematian Puti, Tim Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar langsung memutuskan untuk nekropsi (bedah bangkai) di hari yang sama.
Diketahui, tujuan nekropsi adalah untuk mendapatkan informsasi rinci penyebab kematian Puti melalui pengujian laboratorium terhadap sampel dari organ tubuh harimau tersebut.
Selaku Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono memberi kabar bahwasanya Puti telah dikebumikan di dekat lokasi rehabilitasi tersebut. Ia juga mengucapkan terima kasih atas dedikasi PR – HSD ARSARI yang telah merehabilitasi, merawat dan berupaya menyelematkan Puti sampai saat terakhir.
Duka Bagi Kita Semua
Kabar kematian hewan langka tersebut turut dirasakan oleh sejumlah pihak.
Seperti halnya dengan Direktur Eksekutif Yayasan ARSARI Djojohadikusumo, Catrini Kobontubuh.
“Kematian Puti merupakan sebuah kehilangan yang besar bagi kita sema. Mengingat, bahwa harimau Sumatera adalah satwa yang dilindungi berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata dia.
Ia juga menyoroti bahwa habitat dari satwa liar mulai berkurang, sehingga ketersediaan habitat alami dengan pakan mangsanya kian menipis.
“Walaupun hal ini merupakan kehilangan besar bagi pecinta dan pegiat pelestarian Harimau Sumatera, semoga hal ini tidak menyurutkan, tetapi justru semakin membakar semangat semua pihak dalam upaya pelestarian satwa liar Indonesia, khususnya Harimau Sumatera,” ungkap Catrini.
Secara terpisah, Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono juga menyampaikan simpati akan kematian seekor Harimau Sumatera tersebut. Kata dia, apa yang terjadi pada Puti Maua Agam merupakan tragedi bagi satwa yang dilindungi di Indonesia.
“Duka mendalam ini sangat dirasakan masyarakat Joron Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aia tempat ditemukannya Puti tersebut,” kata Ardi.
Kematian ini, lanjut Ardi, mesti menjadi momentum penting bagi dunia konservasi satwa liar untuk lebih peduli terhadap kelestarian satwa-satwa liar khususnya Harimau Sumatera.
Sementara itu, Forum Harimau Kita juga menyatakan belasungkawa atas kematian Puti.
“Semoga hasil studi bedah nekropsi dapat dijadikan pelajaran bagi konservasi ke depannya,” bunyi pernyataan Forum Harimau Kita tersebut.
Mengikis Jumlah yang Sudah Kritis
Berdasarkan hasil Population Vlability Analysis tahun 2016 silam, populasi Harimau Sumatera hanya tersisa di 23 kantong.
Ke-23 landskap tersebut juga berbeda-beda luasnya yang disebabkan daya dukungnya.
Sedangkan data dari KLHK pada 2019 silam, popolasi Harimau Sumatera hanya tinggal 371 individu.
Sedangkan untuk populasi di Sumbar sendiri, Forum Harimau Kita pada tahun 2018 mencatat ada sekitar 120 harimau.
Jumlah yang kian hari, semakin langka tersebut bukan tanpa sebab. Forum Harimau Kita sendiri mencatat ada beberapa faktor yang menyebabkan nasib Harimau Sumatera di ujung tanduk, seperti halnya konflik dengan manusia.
Selain itu, faktor lainnya juga disebabkan oleh alih fungsi hutan, perburuan harimau, mangsa yang berkurang, kelalaian manusia dalam menjaga ternak, adanya penyakit yang menderita hewan tersebut, hingga kurangnya toleransi manusia saat hewan tersebut berada di dekatnya.
Untuk kegiatan pencegahan yang perlu ditempuh, Forum Harimau Kita menyebut mesti ada sosialisasi kepada masyarakat, aparat desa dan instansi pemerintah yang terkait di wilayah-wilayah berpotensi konflik untuk tujuan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik, serta mendukung Satgas dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan awal secara tepat. (Ism03)