Infosumbar.net – Sidang perdana kasus dugaan pemalsuan tanda tangan Mamak Kepala Kaum, Datuak Kupiah, digelar di Pengadilan Negeri Padang Panjang pada Selasa (17/9/2024).
Sidang tersebut menghadirkan terdakwa Gema Yudha Datuak Maralam serta empat orang saksi, yakni Herry Chandra (Datuak Kupiah) sebagai saksi korban, Dasriko, dan Lusi Susanti Rizawati.
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Agung Wicaksono, dengan didampingi oleh dua hakim anggota, Gustia Wulandari dan Cindy Zalisya Addila. Dalam sidang, terungkap bahwa terdakwa telah menguasai 186 sertifikat tanah kaum.
Herry Chandra, sebagai saksi korban, memberikan keterangan bahwa terdakwa telah menerbitkan surat penjualan tanah milik kaum Koto Nan Baranam tanpa izin.
“Terdakwa menjual tanah kami di Lareh Nan Panjang. Luasnya lebih dari 50 hektar yang merupakan tanah Pusako tinggi,” ujar Herry di depan majelis hakim.
Lebih lanjut, Heryy mengungkapkan bahwa dirinya baru mengetahui tentang penerbitan sertifikat tersebut setelah anaknya mendengar pengumuman dari kelurahan dan BPN.
“Setelah anak saya ke BPN, ternyata benar ada 21 sertifikat yang akan diterbitkan. Saya langsung mengajukan pemblokiran pada bulan Agustus 2022,” jelasnya.
Menurutnya, pemblokiran tersebut dibuka kembali oleh terdakwa dengan menggunakan tanda tangan palsu yang mengatasnamakan Heri selaku Mamak Kepala Kaum.
Tanda tangan tersebut digunakan untuk keperluan sertifikat, pembukaan blokir, dan pengajuan penjualan tanah. Heri juga menyebut bahwa ia mencurigai adanya kongkalikong antara terdakwa dan oknum dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Saya menduga ada kongkalikong terdakwa dengan oknum BPN Angga, yang membuka kembali pemblokiran tanah itu,” kata Herry.
Setelah pemblokiran dibuka, Heri melaporkan kasus ini ke Polda. Saat laporan diajukan, 21 sertifikat sudah terbit dan berada di tangan terdakwa.
“Sebagai Mamak Kepala Kaum, saya tidak pernah menandatangani apa pun terkait tanah itu. Begitu juga dengan mamak-mamak lainnya,” tegasnya.
Heri juga mengungkap bahwa dua dari 21 sertifikat tanah tersebut telah dijual oleh terdakwa dengan harga lebih dari Rp100 juta. Tanah tersebut dijual kepada Sugiman dan Minda Sari yang berlokasi di Kelurahan Koto Panjang.
“Kalau tanah Pusako tinggi bisa dijual, ada syaratnya, yaitu Rumah Gadang Ketirisan, Gadih Gadang Ndak balaki, dan Mayik Tabujua Diateh Rumah,” ungkap.
Di luar 21 sertifikat yang diterbitkan, Heri menyebut bahwa terdakwa juga menguasai 164 sertifikat lainnya tanpa izin dari kaum. “Terdakwa tidak pernah meminta izin kepada saya selaku Mamak Kepala Kaum. Ini pelanggaran besar,” ujarnya.
Ketika ditanya oleh hakim tentang dugaan kongkalikong, Heri menegaskan, “Ya, saya menduga ada kongkalikong antara terdakwa dan oknum BPN.”
Saksi lainnya, Dasriko, juga memberikan kesaksian terkait pembelian tanah dari terdakwa. Menurutnya, ia pernah membeli tanah dari terdakwa namun kemudian menemukan bahwa tanda tangan Datuak Kupiah dipalsukan.
“Saya tanyakan kepada Datuak Kupiah, dan beliau mengatakan tidak pernah menandatangani surat apa pun,” ujar Dasriko.
Istrinya juga membeli tanah dari terdakwa pada tahun 2021, dan terdakwa datang ke rumahnya meminta tanda tangan untuk keperluan pemberkasan jual beli tanah. Selain istrinya, Sugiman dan beberapa orang lainnya juga membeli tanah dari terdakwa.
Jaksa Penuntut Umum menanyakan kepada saksi Herry Chandra, apakah saudara saksi sudah menjabat sebagai mamak kepala kaum terkait dua transaksi pembelian tanah yang menjadi barang bukti dalam perkara ini, tahun 1995 dan 1997?. Herry menjawab, saya baru menjabat sebagai mamak kepala kaum tahun 2001, pak.
Keterangan saksi Lucia Susanti mengatakan bahwa Proses pemblokiran setelah adanya permohonan penerbitan sertifikat di kantor BPN. “Saya mengetahui permohonan penerbitan ini dari anak MKW Rio Fanny Fadjar. (Almarhum),” katanya
Sebelumnya, saksi Herry telah mengajukan pemblokiran di bulan Agustus 2022. Tanpa sepengetahuan saksi Herry, terdakwa memalsukan tanda tangan saksi untuk membuka kembali blokir diajukan saksi Herry.
Setelah itu, saksi Lucia, bersama saksi Herry kembali mendatangi BPN menindaklanjuti pemblokiran yang dilakukan. Pengakuan dari BPN, pemblokiran telah dibuka oleh terdakwa dengan melampirkan surat pencabutan blokir atas nama saksi Herry yang tanda tangannya dipalsukan terdakwa.
Mengetahui hal itu, saksi Lucia meminta BPN untuk memblokir kembali 21 sertifikat yang telah diketahuinya dari terdakwa. Namun, BPN tetap mengumumkan kembali pengajuan sertifikat tersebut.
Kemudian saksi Lucia, kembali mendatangi BPN dan menanyakan terkait pengumuman sertifikat tersebut. Dari pengakuan BPN, pemblokiran tidak bisa dilakukan tanpa ada laporan polisi.
“Berdasarkan keterangan dari BPN, saksi Herry melaporkan kejadian tersebut ke Polda Sumbar atas petunjuk BPN atas pemblokiran sertifikat,” katanya.
Setelah laporan polisi selesai, saksi Lucia melampirkan laporan polisi ke BPN untuk permohonan pemblokiran. Namun nyatanya, sertifikat tersebut telah diterbitkan meskipun telah ada lampiran laporan polisi.
“Saya tanyakan kepada Mayang (petugas BPN), kenapa tetap diterbitkan sertifikat ini meski sudah ada laporan polisi yang kita masukkan. Jawab petugas, itu atas permintaan kepala BPN yang mana terdakwa telah mendatangi kepala BPN untuk penerbitan sertifikat tersebut. Itu pengakuan dari salah seorang petugas BPN,” ungkapnya.
“Ada nama-nama BPN yang saat itu saya berurusan dengan saya yakni atas nama Angga, Mayang, Ade dan Ayu,” tambahnya.
Setelah mendengarkan keterangan saksi, Ketua Majelis Hakim, Agung Wicaksono, meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan pihak BPN.
“Saudara jaksa tolong dicatat nama-nama petugas BPN ini. Kami perintahkan JPU untuk menghadirkan nama-nama dari BPN yang telah disebutkan,” tegas hakim.
“Kami akan menghadirkan Angga Cs dari BPN berdasarkan perintah hakim,” kata JPU, Edmonrizal, Andrile Firsa menanggapi permintaan hakim.
Kemudian sidang akan dilanjutkan pada 23 September 2024 dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan. (Bul)