Infosumbar – Menekuni profesi sebagai perajin perak di zaman serba modern menjadi tantangan tersendiri bagi pelakunya. Dengan segala kecanggihan teknologi, kemudahan berbelanja dan harga yang bersaing, perajin perak mendapatkan tantangan besar untuk tetap eksis.
Tak terkecuali Dani Osmond (41), salah satu perajin perak di Pasar Banto Bukittinggi. Pria asal Sungai Jariang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam ini telah lama menggeluti profesi yang dulunya sangat menjanjikan.
Infosumbar mencoba menelusuri kios-kios di Banto Trade Center (BTC). Jika dilihat sekilas, pusat perbelanjaan dengan fasilitas modern ini seperti sudah mati. Tidak ada aktivitas perdagangan di gedung berlantai lima itu.
Setelah dilihat ke dalam bangunan, sejumlah kios masih buka. Rata-rata kios diisi penjahit, pedagang perhiasan dan perajin perak.
Dani Osmond adalah salah satu perajin perak Pasar Banto yang masih bertahan. Dani memilih “setia” menggeluti keahlian yang didapatnya di Medan saat remaja.
“Saya mendapati keahlian ini saat merantau ke Medan dulu,” kata Osmond.
Kini, sudah hampir 8 tahun Osmond menekuni profesi sebagai perajin perak di Pasar Banto. Sebelumnya, pria yang memiliki hobi olahraga dan bermusik ini bekerja di salah satu Bank.
Namun pada 2018 lalu, ayah 3 anak ini memutuskan resign dan banting stir jadi perajin perak. Usaha yang digelutinya ini cukup menjanjikan. Terlebih saat itu tren batu akik masih digandrungi masyarakat.
Pada medio 2019-2020, usaha ini alami penurunan drastis dari segi omzet. Wabah Covid-19 yang melanda dunia saat itu, membuat seluruh usaha mati suri.
Tidak ada aktivitas jual beli karena adanya pembatasan interaksi sosial oleh pemerintah.
“Awalnya ada lebih dari 20 perajin di sini. Sejak covid, hanya bersisa 3 atau 4 perajin saja,” ujarnya.
Tidak hanya covid, banyaknya produk dari China juga menjadi penyebab turunnya permintaan dari masyarakat. Bahan baku juga sulit didapat.
“Produk China ini dijual dengan harga lebih murah. Belanja juga mudah dengan cara online,” terangnya.
Meski banyaknya gempuran produk China, Osmond menyebut, kualitas perak yang dibuat perajin jauh lebih bagus.
“Sekarang pesanan itu banyak dari pelanggan lama,” katanya.
Untuk harga jasa, Osmond mematok Rp 200-250 ribu. Itu belum termasuk harga bahan baku.
“Bahan mentah Rp 17 ribu per gram, perak ini juga mengikuti harga emas. Nanti total harga tergantung berapa banyak bahan yang terpakai,” bebernya.
Menurut Osmond, Sumbar terkenal dengan kerajinan perak Koto Gadang dan Sonsang. Ia berharap ada perhatian pemerintah untuk menyediakan tempat berusaha yang representatif bagi perajin perak.
“Bukittinggi ini kan kota wisata. Kerajinan perak ini menjadi salah satu yang dicari pengunjung. Jadi kalau datang ke Bukittinggi, sudah ada tempat khusus untuk mencari kerajinan perak,” harapnya.
Di tengah semakin berkurangnya peminat generasi menjadi perajin perak, Osmond memiliki cita-cita membuka pelatihan bagi mereka yang ingin belajar.
Dikatakan Osmond, keahlian ini bisa menjadi bekal untuk menghidupi keluarga.
“Saya sangat prihatin karena tidak ada lagi anak muda yang mau belajar keahlian ini. Jika ada yang mau belajar, saya siap memberikan ilmu yang saya punya,” katanya mengakhiri sembari mengungkapkan keinginan memiliki galerry di rumahnya.