Infosumbar.net – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa gempa megathrust yang berpotensi mengguncang Indonesia hanya masalah waktu.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, yang menyoroti kekhawatiran para ilmuwan Indonesia terhadap seismic gap di Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut.
Seismic gap adalah wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang belum mengalami gempa besar selama lebih dari 30 tahun.
Megathrust Selat Sunda diperkirakan dapat memicu gempa dengan magnitudo 8,7, sementara Megathrust Mentawai-Siberut berpotensi memicu gempa berkekuatan M 8,9.
“Gempa di kedua segmen megathrust ini hanya tinggal menunggu waktu karena sudah ratusan tahun tidak terjadi gempa besar,” kata Daryono, dilansir dari Kompas.com pada Senin (12/8/2024).
Lalu, bagaimana upaya mitigasi menghadapi potensi gempa megathrust ini?
Penjelasan BNPB
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menjelaskan bahwa gempa bumi tidak dapat dicegah. Namun, dampak bencana tersebut bisa diminimalkan melalui upaya mitigasi yang tepat.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran masyarakat akan bencana melalui sosialisasi secara konsisten.
“Kita harus membangun budaya sadar bencana secara berkelanjutan,” ujar Abdul saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (15/8/2024).
Abdul menambahkan, istilah gempa megathrust tinggal menunggu waktu berarti bisa terjadi kapan saja, sesuai dengan return period dalam skala waktu geologi. Return period adalah jangka waktu terulangnya gempa besar dalam kurun waktu tertentu.
Sebagai contoh, gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 memiliki return period lebih dari 600 tahun, sedangkan gempa dan tsunami Tohoku di Jepang tahun 2011 memiliki return period antara 1.500 hingga 2.000 tahun.
Abdul juga menggarisbawahi bahwa komunikasi risiko harus segera dilakukan agar masyarakat lebih waspada.
Menurut Abdul, mitigasi utama untuk menghadapai gempa adalah mitigasi struktural pada bangunan. “Penguatan struktur bangunan agar tahan gempa adalah langkah mitigasi paling penting,” ungkapnya.
Dengan penguatan bangunan, potensi korban jiwa akibat gempa dapat diminimalkan. Sebenarnya, bukan gempa bumi yang mematikan, melainkan bangunan yang runtuh karena gempa.
Abdul menyebut bahwa Indonesia sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bangunan tahan gempa. “SNI ini seharusnya menjadi acuan bagi semua orang ketika membangun bangunan atau aset,” tambahnya.
Jika bangunan yang ada tidak tahan gempa, Abdul menyarankan untuk melakukan retrofitting atau penguatan struktur bangunan secara mandiri. Cara atau metode penguatan struktur bangunan dan standar SNI dapat ditemukan di internet.
Jika retrofitting tidak memungkinkan, pastikan jalur keluar rumah bebas dari potensi rubuhan perabot besar seperti lemari atau lampu gantung.
Masyarakat juga perlu memahami lokasi bangunan dan mengenali jalur evakuasi yang tersedia.
Mitigasi Saat Gempa Bumi
Abdul mengimbau masyarakat untuk segera berlari ke area terbuka jika terjadi gempa, guna menghindari reruntuhan bangunan.
“Segera lari ke tanah lapang untuk menghindari tertimpa reruntuhan bangunan,” ujarnya.
Jika seseorang berada di lantai atas saat gempa, disarankan untuk menggunakan tangga darurat, bukan lift, karena ada risiko listrik mati yang dapat menyebabkan seseorang terjebak di dalam lift.
Jika guncangan sangat kuat dan tidak memungkinkan untuk melarikan diri, Abdul menyarankan berlindung di bawah meja yang kuat. “Hindari meja kaca, pilih meja yang cukup kuat untuk melindungi dari reruntuhan,” jelasnya.
Setelah guncangan mereda, segera keluar dari bangunan.