Infosumbar.net – Lima anggota DPR RI resmi dinonaktifkan dari jabatannya, namun tetap mendapatkan gaji beserta tunjangan.
Fakta ini justru memperbesar kemarahan publik setelah gelombang demonstrasi di Senayan sejak akhir Agustus 2025.
Isu wakil rakyat dinonaktifkan masih terima gaji pun ramai diperbincangkan di media sosial.
Banyak warganet mempertanyakan, bagaimana mungkin seseorang yang kehilangan kepercayaan publik masih menerima bayaran dari uang rakyat?
Akar Masalah Penonaktifan
Langkah penonaktifan ini dipicu oleh sikap dan pernyataan sejumlah anggota DPR yang dianggap menyinggung hati masyarakat.
Situasi semakin panas setelah seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob di tengah demonstrasi pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Tragedi tersebut memicu solidaritas luas, membuat sorotan publik terhadap isu kenaikan gaji dan tunjangan fantastis anggota dewan semakin tajam.
Tak hanya gedung DPR yang menjadi sasaran amarah, rumah pribadi para politisi pun ikut diserang bahkan dijarah massa.
Siapa Saja 5 Wakil Rakyat yang Dinonaktifkan?
-
Uya Kuya (PAN)
PAN resmi menonaktifkan Uya Kuya per 1 September 2025. Keputusan itu ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Zulkifli Hasan bersama Sekjen Viva Yoga Mauladi. Publik tak melupakan aksinya berjoget saat Sidang Tahunan MPR/DPR yang bertepatan dengan isu kenaikan gaji dewan hingga Rp100 juta per bulan. Rumah mewahnya di Duren Sawit dirusak massa. -
Eko Patrio (PAN)
Rekan separtainya, Eko Patrio, juga dinonaktifkan setelah aksi joget dan parodi video TikTok memicu kemarahan publik. Rumahnya di Setiabudi, Jakarta Selatan, bahkan turut dijarah. -
Ahmad Sahroni (NasDem)
Politisi NasDem ini dicopot usai menyebut masyarakat yang ingin DPR dibubarkan sebagai “orang tolol sedunia”. Ucapan itu menyalakan gelombang kritik, sementara rumahnya di Tanjung Priok diserbu massa. -
Nafa Urbach (NasDem)
Selebritas yang terjun ke politik ini ikut terseret. Pernyataannya mendukung tunjangan rumah Rp50 juta menuai kecaman karena dinilai tak berempati pada rakyat. NasDem pun menonaktifkannya per 1 September 2025. Rumahnya di Bintaro tak luput dari penjarahan. -
Adies Kadir (Golkar)
Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar ini dinilai tak peka setelah bercanda soal kenaikan tunjangan beras dan bensin anggota DPR. Ia resmi dinonaktifkan pada 1 September 2025. Meski begitu, rumah pribadinya tetap jadi sasaran kemarahan massa.
Kenapa Masih Terima Gaji?
Meski dinonaktifkan, kelimanya tetap memperoleh hak keuangan. Berdasarkan Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, anggota yang diberhentikan sementara tetap berhak atas gaji dan tunjangan.
Dengan kata lain, status nonaktif tidak sama dengan pemecatan. Mereka hanya berhenti sementara dari tugas, namun masih tercatat sebagai anggota DPR aktif.
Rincian Tunjangan
Mengacu pada Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, tunjangan yang tetap dibayarkan meliputi:
-
Tunjangan istri/suami
-
Tunjangan anak
-
Tunjangan jabatan
-
Tunjangan kehormatan
-
Tunjangan komunikasi
-
Tunjangan beras
Nonaktif vs. Pemecatan
Banyak masyarakat bingung dengan istilah ini. Nonaktif berarti anggota DPR hanya diberhentikan sementara, tetapi masih menyandang status keanggotaan.
Sedangkan pemecatan membuat status anggota dewan dicabut permanen, melalui proses panjang yang melibatkan partai politik, pimpinan DPR, Presiden, hingga Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Refleksi dan Pelajaran Publik
Kasus lima wakil rakyat dinonaktifkan tapi tetap menerima gaji menimbulkan sejumlah pelajaran penting:
-
Aturan hukum lebih dominan daripada tekanan publik.
-
Masyarakat perlu memahami perbedaan nonaktif dan pemecatan.
-
Kritik rakyat semakin lantang, menandakan kesadaran politik yang meningkat.
-
Transparansi soal hak keuangan anggota DPR wajib dibuka agar publik tidak curiga.
Keadilan Sosial di Tengah Krisis
Ketika rakyat kesulitan menghadapi mahalnya harga kebutuhan pokok, fakta bahwa wakil rakyat nonaktif tetap memperoleh gaji dan tunjangan jelas melukai rasa keadilan. Tak heran, media internasional turut menyoroti hal ini sebagai gambaran kesenjangan sosial-politik di Indonesia.
Namun, peristiwa ini sekaligus membuka ruang refleksi penting: bagaimana agar wakil rakyat benar-benar menjadi pelayan publik, bukan sekadar penerima fasilitas negara. Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian partai politik menindak tegas menjadi kunci perubahan ke depan.







