infosumbar.net – Universitas Andalas (UNAND) kembali menunjukkan kiprahnya dalam mendorong kebijakan berbasis ilmu pengetahuan. Kali ini, melalui pandangan Prof. Dr. Defriman Djafri, pakar Kesehatan Masyarakat dari UNAND, yang menguraikan pentingnya desain dan implementasi Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang berbasis bukti, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
Dalam wawancara khusus, Prof. Defriman menegaskan bahwa urgensi program MBG tak bisa ditunda. “Beban ganda malnutrisi—antara kekurangan dan kelebihan gizi—masih nyata di Indonesia, dan kesenjangan antarwilayah memperburuk situasi. Intervensi berbasis sekolah adalah pilihan strategis, namun efektivitasnya akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan yang presisi,” tegasnya.
Program MBG, menurutnya, harus dimulai dari wilayah yang paling rentan—terutama daerah dengan tingkat stunting yang berada di atas rata-rata nasional. Ia juga menyoroti pentingnya menyertakan pendidikan gizi dalam kurikulum sekolah. “Indonesia jangan hanya menyiapkan makanan gratis, tapi juga membangun kesadaran gizi. Contoh baik bisa kita lihat dari Thailand,” ujar Guru Besar FKM UNAND tersebut.
Standar Gizi Lokal: Bukti dan Fleksibilitas Adalah Kunci
Menanggapi tantangan standar gizi yang tidak seragam di seluruh wilayah Indonesia, Prof. Defriman menyarankan pendekatan berlapis. “Kita butuh nutrisi inti yang mandatori mengikuti standar WHO, tapi tetap harus fleksibel terhadap bahan pangan lokal. Ini penting agar anak-anak lebih mudah menerima makanannya,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa pemetaan pangan lokal menjadi syarat mutlak agar intervensi gizi tetap kontekstual dan terstandar.
Data dan Evaluasi: Jangan Biarkan MBG Menjadi Program yang Tidak Terukur
Evaluasi jangka menengah dan panjang juga menjadi perhatian utama Prof. Defriman. Ia menyebut sejumlah indikator penting seperti ukuran antropometri, prevalensi anemia, performa kognitif dan akademik, hingga risiko penyakit tidak menular. “Indonesia harus membangun sistem pemantauan yang terintegrasi antara data kesehatan dan pendidikan. Data longitudinal akan sangat krusial,” ujarnya.
Ia pun menyinggung perbedaan data stunting antara SSGI dan e-PPGM sebagai pelajaran penting. “Sistem ini harus dapat diakses sekolah, pemerintah, bahkan publik. Ini bukan hanya untuk evaluasi, tapi juga akuntabilitas,” kata dosen UNAND yang dikenal aktif dalam riset kebijakan kesehatan publik.
Kolaborasi Lintas Sektor: Belajar dari Tetangga, Bertindak untuk Anak Bangsa
Dalam konteks tata kelola, Prof. Defriman menyatakan bahwa kolaborasi lintas sektor masih menjadi tantangan. “Kita butuh koordinasi antarlembaga yang solid. Sekolah harus aktif dalam pendidikan gizi dan kebersihan, tenaga kesehatan perlu membimbing dan melatih, sementara pemerintah daerah wajib menyatukan semua sumber daya,” ungkapnya.
Model yang berhasil, menurutnya, dapat dilihat di Filipina, Vietnam, Thailand, hingga Brasil—di mana kolaborasi dilakukan melalui kebun sekolah, pertanian keluarga, hingga penggabungan dana pusat dan daerah dalam satu sistem. “Kuncinya ada pada komite kota atau kabupaten yang aktif dan representatif,” tegasnya.
Satu Rekomendasi Penting: Tegakkan Sistem dan Cegah Bom Waktu
Ketika diminta memberi satu rekomendasi utama, Prof. Defriman memilih untuk menekankan pada aspek implementasi. “SOP pelaksanaan harus tegas, sistem pemantauan dan evaluasinya harus berjalan dan bisa diakses publik. Jika tidak, ini akan jadi bom waktu. Program bisa menjadi ladang korupsi dan uang negara akan habis tanpa dampak jelas bagi masa depan bangsa,” tegasnya.
Sebagai bagian dari Universitas Andalas—kampus yang terus mendorong lahirnya kebijakan berbasis riset—Prof. Defriman berharap program MBG bukan sekadar wacana populis. “Ini soal masa depan anak-anak kita. Jangan diserahkan pada retorika. Serahkan pada data, ilmu, dan kolaborasi nyata,” pungkasnya.







