oleh: Yunesa Rahman
Dalam waktu kedepan pemberitaan terkait Mahkamah Konstitusi akan semakin menjadi sorotan publik. Hal tersebut diakibatkan pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 di Indonesia yang diikuti oleh 264 daerah baik provinsi, kabupaten dan kota. Sampai saat ini sudah ada 88 kasus yang terdaftar di Mahkamah Konstitusi terkait sengketa pilkada serentak. Pendaftaran sengketa pilkada ditutup sampai tanggal 22 Desember 2015, didalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pasal 5 menjelaskan bahwa waktu pengajuan gugatan paling lambat 3 x 24 jam sejak termohon mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan. Pada pasal 6, ada syarat dalam pengajuan gugatan berupa perbedaan perolehan suara terjadi, paling banyak 2% untuk penduduk sampai 2 juta, paling banyak 1,5% untuk penduduk 2 juta s/d 6 juta, dan 1% untuk penduduk 6 juta s/d 12 juta, serta paling banyak 0,5% penduduk diatas 12 juta.
Begitu juga untuk Kabupaten/Kota, paling banyak perbedaan perolehan suara 2% penduduk 250 ribu, 1,5% untuk penduduk 250 ribu s/d 500 ribu, 1% untuk penduduk 500 ribu s/d 1 juta, serta 0,5% untuk penduduk lebih dari 1 juta.
Mahkamah Konstitusi baik secara kelembagaan maupun Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam aspek kelembagaan, Mahkamah Konstitusi dipandangan masyarakat dalam pencarian keadilan melalui hukum. Belum lagi segi kewenangan MK yang begitu luar biasa yang diatur melalui perundangan-undangan seperti MK dapat memutuskan dan mengadili dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dipelajari ketika MK memutuskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dinyatakan inkonstitusional. Hal tersebut dilakukan melalui pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Kewenangan Komisi Yudisial terhadap MK dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim inskonstitusi demi hukum melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006.
Banyak pendapat ahli hukum mengenai bentuk pengawasan MK baik internal maupun eksternal, mulai dari mengembalikan pengawasan hakim MK ke KY, mempermanenkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan hak prerogratif Presiden dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan Mahkamah Konstitusi, bahwa ada satu lembaga negara yang dapat mengawasi Mahkamah Konstitusi, yaitu Ombudsman Republik Indonesia. Sekilas dari sejarah Ombudsman dalam konsep Komisi Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 44 Tahun 2000, bahwa Ombudsman sebagai lembaga pengawasan masyarakat yang berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tahun 2008, terbitlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perorangan yang diberikan tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan APBD.
Oleh karena itu dalam kewenangan MK yang diatur perundang-undangan mencakup kedalam ruang lingkup pengawasan Ombudsman. Misalnya kewenangan MK dalam menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Dari keempat kewenangan MK tersebut, Ombudsman dapat mengawasi SOP (standard operating procedure), Standar Pelayanan Minimum dan Janji Pelayanannya (maklumat). Selain itu Ombudsman juga dapat mengawasi MK dari tindakan maladministrasi yang berpeluang untuk terjadinya tindak pidana korupsi. Pada intinya Ombudsman dapat mengawasi MK mulai dari hulu hingga hilirnya baik itu dimulai dari awal proses pengajuan gugatan sengketa pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia sampai dengan mengawal Putusan Hakim Konstitusi yang telah berkekuatan hukum (inkracht van gewijsde). Ombudsman merupakan pengawas ekternal yang bersifat non-litigasi yang juga tidak dapat mencampuri Keputusan seorang Hakim akan tetapi dapat mengawasi MK secara kelembagaannya terutama dalam proses Beracara Dalam Perkara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia.