Oleh: Lismomon Nata
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Negeri Padang)
Indonesia merupakan negara yang kaya. Kaya dalam banyak artian, baik kesadaran kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA), keanekaragaman hayati maupun kemajemukan secara sosio kultural. Salah satu masyarakat lokal yang masih kuat mempertahankan budayanya dalam harmonisasi kehidupan bersama alam di tangah gempuran globalisasi adalah masyarakat Baduy. Diantaranya mereka sebagian besar berada, tinggal, dan hidup di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Banyak perspektif kajian keilmuan untuk memahami masyarakat, salah satunya melalui kajian ekologi manusia. Di mana, tidak hanya mempelajari interaksi sosial semata, akan tetapi juga aspek lingkungan maupun potensi yang menjadi realitas sosial sebagai hasil interaksinya pada ekosistem tertentu, berlanjut pada populasi serta perubahan lingkungan (Barlian dan Danhas. 2022:2). Secara umum masyarakat Baduy berdasarkan tempat bermukimnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu “Baduy dalam” dan “Baduy luar”. Namun, penulis menambahkan satu sebutan lagi, yaitu “Baduy Islam”, mereka yang telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama lokal nenek moyang mereka (local religion). Pembagian sebutan tersebut didasarkan lokasi tempat tinggal dan pola kehidupan mereka masing-masing konteks kekinian.
Apabila Baduy dalam adalah orang Baduy yang hidup dalam kawasan hutan belantara pegunungan Kendeng, sedangkan Baduy luar, berada di luar batas wilayah adat pegunungan, yaitu pada area berupa perkampungan yang telah ditentukan. Sementara Baduy Islam, mereka yang telah keluar dan tinggal terpisah dari kedua teritorial kewilayahan di atas. Secara kasat mata perbedaan antara ketiga Baduy tersebut dapat dilihat dari pakaian yang digunakan sehari-hari. Berbeda jauh dengan masyarakat modern, kehidupan orang desa atau kota pada umumnya, yaitu baju mereka terus berganti-ganti hampir setiap hari dengan berbagai macam motif serta model yang berbeda pula (fesyen). Orang Baduy hanya menggunakan satu model pakaian saja.
Bagi laki-laki Baduy dalam hanya menggunakan baju berwarna putih dengan celana pendek gelap, tidak menggunakan alas kaki, sedangkan laki-laki Baduy luar menggunakan baju berwarna hitam dengan celana pendek berwarna gelap, tidak menggunakan alas kaki dan Baduy Islam yang kecenderungan telah tampak menyesuaikan gaya hidup seperti masyarakat pada umumnya, sementara para perempuan Baduy menggunakan pakaian yang relatif sama yaitu motif batik warna kombinasi biru hitam.
Baduy luar terbentuk karena terjadinya penyimpangan, kesalahan atau melanggar pantangan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang Baduy terhadap aturan-aturan, nilai dan norma yang ada pada adat Baduy, seperti menggunakan alas kaki, menaiki kendaraan bermotor, menggunakan listrik, atau segala macam bentuk teknologi atau kemajuan yang ada pada kehidupan modern, sehingga ketika kita akan masuk ke perkampungan Baduy, maka tidak diperbolehkan kendaraan apapun, kecuali kaki sebagai sarana transportasi satu-satunya yang normalnya dimiliki oleh setiap manusia.
Dalam kehidupan Baduy, mereka hidup dan menyatu dengan alam, hutan, ataupun sungai. Hidup dengan memanfaatkan hasil alam yang ada, layaknya orang kota yang memiliki rumah, maka bagi Baduy, rumah mereka adalah alam atau hutan. Jika orang modern di rumahnya adanya kulkas untuk menyimpan berbagai macam makanan yang dibutuhkan, maka bagi orang Baduy hutan juga merupakan lemari es yang juga menyimpan berbagai makanan untuk kehidupan mereka yang kapan saja dapat mereka ambil secukupnya. Dalam perkembangannya, sistem perekonomian dan mata pencarian mereka hanya bercocok tanam dan berladang. Varitas padi yang ditanam adalah padi huma atau padi gogo, yaitu jenis padi yang dapat hidup di daerah lereng bukit, tidak membutuhkan banyak air dan tidak menggunakan pupuk kimia, sehingga padi yang dihasilkan dapat bertahan lama, bahkan bisa hingga puluhan tahun yang mereka simpan di leuit (lumbung).
Masyarakat Baduy dipimpin oleh ketua adat yang disebut pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kesaktian dan indra yang kuat, hingga ahli pengobatan dan terutama untuk mengontrol setiap anggota masyarakatnya. Misalkan saja, pada aturan hidup masyarakat Baduy dilarang menumpangi apalagi memiliki kendaraan bermotor apapun, hanya diperbolehkan berjalan kaki, sehingga mereka merupakan pejalan kaki handal, tanpa alas kaki, naik turun gunung atau bukit, berbatu atau licin sekalipun. Bila melanggar, Pu’un dapat mengetahuinya meskipun mereka berada tempat yang berbeda dan jauh. Apabila itu terjadi, maka konsekuensinya si pelanggar harus keluar, yaitu berpindah hidup ke perkampungan Baduy luar, demikian juga bila menggunakan alat-alat elektronik, bahkan bantal atau kasur sekalipun. Kepercayaan dan keyakinan tersebut karena mereka meyakini bahwa hidup di dunia ini adalah tempat mereka diuji, nanti pada kehidupan setelah kehidupan dunia inilah mereka akan merasakan kenikmatan, termasuk tersedianya berbagai macam fasilitas yang tidak mereka pergunakan selama hidup, seperti berbagai properti ada dan biasa dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat saat sekarang ini, yaitu apabila mereka berhasil akan didapatkan di sorga yang mereka percayakan kelak. Menariknya, hampir dapat dikatakan seluruh masyarakat Baduy mematuhi dan melaksanakannya. Bila tidak, maka merekapun bersedia, menerima dan taat dalam menjalani hukuman.
Sekaitan dalam aspek menjaga dan melestarikan lingkungan alam, seperti hal yang telah menjadi nilai dan pola serta gaya hidup mereka yang sangat erat dengan alam, maka kehidupan Baduy sangat tergantung pada alam, sehingga kuatnya kesadaran untuk memiliki rasa tanggung jawab dan senantiasa menjaga keseimbangan secara harmonis. Implementasi nilai-nilai kepercayaan, adat tersebut terlihat dalam berbagai macam kearifan lokal. Contohnya adanya pengaturan pembagian wilayah menjadi tiga zona, yaitu zona reuma (permukiman), zona heuma (tegalan dan tanah garapan), dan zona leuweung kolot (hutan tua) (Suparmini et al., 2015).
Layaknya sebuah ekosistem, di mana komitmen dan pengaturan masyarakat Baduy secara sosio kultural dalam memperlakukan lingkungan alam sangat berhubungan erat kehidupan mereka dengan aspek-aspek biotik dan abiotik yang ada di “rumah” mereka, yaitu hutan (lingkungan), jangankan membabat hutan secara liar, satu sampah pun akan sulit ditemui dari kehidupan orang Baduy, apalagi membuang sembarang tempat. Dengan demikian, apabila kita berada di perkampungan, akan merasakan suasana asri, rapi dan bersih. Hal tersebut akan memiliki korelasi, integrasi yang sinergis dalam menciptakan kehidupan lingkungan yang berkelanjutan.
Dari pengetahaun serta aplikasi nilai atau ajaran hidup masyarakat Baduy, mereka menjauhkan diri dari segala macam hasrat kenikmatan dunia, walaupun mungkin saja memberikan stereotip bagi kehidupan orang Baduy jauh dari kemajuan, kolot atau primitif. Di mana mereka hanya berjalan kaki, tidak menebang pohon menggunakan mesin apalagi merusak ataupun mengganggu makhluk lain, tidur tidak menggunakan kasur, apalagi telepon cerdas yang dapat membuat manusia modern berselancar dalam dunia maya, mengalami kecanduan dan bahkan tergantung padanya. Pola hidup mereka sederhana, hidup dengan berbagai macam mantra sebagai doa-doa untuk mencapai keabadian kehidupannya nanti setelah kehidupan di dunia. Berbeda dengan kecendrungan kehidupan manusia modern yang dibayang-bayangi sifat greedy (rakus) yang lebih besar sebagai faktor yang membuat lingkungan terancam untuk rusak dan hancur.