oleh: malin kundang
Kabut sap datang lagi, negeri berkabut lagi, sekolah-sekolah diliburkan lagi. Seperti kalender tahunan, tahun ini kabut asap kembali menyelimuti pulau Sumatera.
Siapalah yg pantas disalahkan atas bencana asap ini?
Sepertinya rakyat di Pulau Sumatera harus lebih banyak bersabar, karena selain kekayaan alam, rakyat pulau Andalas bukan prioritas bagi pemerintahan bangsa ini, kecuali waktu kampanye mendekati pemilu.
Bencana kabut asap ini penyakit menahun, selalu saja ada lahan terbakar, selalu saja lambat penanganannya, apa disengaja atau tidak, tidak tau pasti. Tapi bandingkan kalau bencana kabut asap ini terjadinya di pulau jawa, tentunya penanganan pemerintah tidak se lamban ini.
Juga cukup menggelikan membaca salah satu headline berita online yg masih menyanjung penguasa dgn judul “Ini Aksi Jokowi: Menantang Asap Hingga Panjat Negara.”
Wahai tuan presiden dan media media pendukung pemerentah yg terhormat, apakah dengan menantang kabut asap dan memanjat menara, bencana bisa hilang?
Apakah puja puji media terhadap tuan presiden bisa melenyapkan asap dan langit kami biru kembali?
Wahai tuan presiden, kami tidak butuh pencitraan tuan, kami tidak butuh media yg memuja muji tuan, yg memberitakan tuan presiden masuk got, menantang asap dan memanjat menara.
Ketahuilah wahai tuan presiden, tuan bukan dewa pemilik alam, ketika asap tuan tantang, asap langsung hilang.
Wahai tuan presiden, kami cuma ingin langit kami biru kembali, dan adik-adik kami bisa sekolah seperti biasa kembali.
Tuan presiden, sudahlah, sudahilah pencitraan. Kami berkabut asap, udara yg kami hirup tidak sehat, sedang tuan presiden tahu pasti, kalau biaya Rumah Sakit itu sangatlah mahalnya.
Ya, kami tidak butuh lagi pencitraan. Kami perlu pemerintah yg serius dalam menangani bencana, bukan petantang petenteng di depan media. Bencana asap ini sudah cukup mengganggu dan mengancam kesehatan.
Orang bijak berkata, dibalik bencana ada hikmahnya, tapi kami di Sumatera ini selalu menunggu bencana dibalik bencana, karna kami tau pasti, ketika bencana asap ini hilang, maka akan muncul lagi bencana asap untuk berikutnya. Sepanjang pemerintah masih mengasih ijin kepada investor untuk membuka lahan, maka selama itulah kami bersiap siap menanggung bencana.
Sebagai warna negara kelas tiga maka kami rela saja paru paru kami dimasuki karbon sisa pembakaran, karena penguasa pun tidak pernah peduli, karena kepedulian penguasa tertinggal di spanduk sisa kampanya, dan berakhir jadi alas meja di pos ronda.
Mari sama berdo’a semoga setelah bencana asap ini, masyarakat Sumatera dijauhkan dari bencana. Aminnn. Dan #Salabala.