oleh Arifki Chaniago
Pemerhati Sosial
Bagi perkembangan suatu peradaban, pendidikan adalah unsur yang sangat vital. Kevitalan pendidikan menjadikan orang tua yang tidak memiliki anak yang pendidikannya bagus maka akan timbul demam sosial dalam masyarakat. Demam itu timbul karena masyarakat sudah mulai cerdas dengan memosisikan pendidikan sebagai unsur yang lebih penting dari pada kekayaan yang mereka miliki.
Kekayaan yang seharusnya menjadi harapan untuk para anak-anak bisa mencicipi pendidikan formal yang seukuran SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan tinggi. Namun, sangat disayangkan sekali jika pendidikan yang diharapkan oleh para orang tua di rumahnya, malah dari jalur budaya yang mereka didik dari dini kepada anak-anaknya. Larinya harapan masyarakat dari jalur moral yang mereka wariskan dari generasi kegenerasi oleh leluhur mereka bahwa agama, etika, moral dan kepatutan adalah sumber utama dalam memahami hidup. Terus bagaimana jika pendidikan yang mereka banggakan sebagai pendidikan moral anak-anakya gagal memberikan contoh kepada anak-anaknya. Sehingga ada timbul rasa penyesalan dari orang tua yang telah memberikan pedidikan formal pada anak-anaknya.
Murid Adalah Robot
Jika kita perhatikan pedidikan saat ini dari SD sampai perguruan tinggi telah kehilangan substansi pedidikan yang seharusnya diperlihatkan oleh para pendidik. Seorang guru atau dosen seharusnya jangan hanya bersikeras dengan kedisiplinan dan baju rapi yang digunakan oleh anak didiknya. Nilai agama, etika dan kepatutan juga perlu diajarkan, karena aturan yang dipertegas saja tanpa ada nilai yang diperoleh dari aspek budaya prilaku maka semua itu tidak ada gunanya.
Budaya prilaku menjadi pekerjaan rumah yang sulit dikembangkan oleh dunia pendidikan kita, karena dunia pedidikan kita hanya memikirkan citra kepada pihak lain bahwa mereka adalah orang yang baik dalam mengemas peserta didik mereka. Kehilangan esensi dalam pendidikan ini menimbulkan sikap kewajaran kita bahwa lembaga pendidikan kita memaksa peserta didik untuk kaku dalam pembelajaran sehingga akan timbul kegagalan dalam pengembangan generasi.
Otak peserta didik dipaksakan sama isinya dengan buku yang ada di atas meja mereka. Sehingga nilai kreatifitas tersingkirkan seketika. Jika peserta didik hanya menjalankan seseuatu yang ada tanpa ada perubahan, sama saja peserta didik disamakan dengan robot alias mesin yang bekerja. Nah, Sungguh disayangkan sekali jika sistem mesin ini masih menjadi pedoman para pendidik kita untuk melahirkan para negarawan maupun penerus bangsa ini kedepan. Pemaksaan seorang murid dalam suatu obyek pembelajaran menjadikan budaya mencontek akan terjadi karena jawaban dan penjelasan peserta didik diharuskan sama dengan buku yang ada walaupun penjelasan dan jawaban yang diberikan peserta didik itu memilik jawaban yang mengartikan maksud yang sama.
Betapa tidak dirugikan sekali sikap inovatif dan kreatifitas peseta didik karena mereka adalah mesin. Mereka akan menjadi juara, hebat bahkan kaya jika standar mesin mereka terapkan dalam menempuh pendidikan. Dunia kerja akan menunggu anda anak-anak jika anda berkelakuan baik dan patuh pada atasan anda, itulah yang di doktrinkan oleh pendidik kepada murid-muridnya. Kalian akan bekerja pada perusahan manufaktur, bekerja seperti mesin dan nilai kalian harus tinggi itu menjadi standar yang selalu dijanjikan oleh para pendidik kepada para murid-muridnya (baca : pendidikan pasar )
Pendidikan Poin
Ukuran keberhasilan pendidikan kita adalah dengan mengutamakn poin yang akan dicapai oleh para murid-muridnya. Akibat yang akan dijalankan oleh sistem poin ini adalah mereka akan belajar hanya untuk sebuah poin bukan ilmu yang akan mereka kembangkan dalam bermasyarakat. Nilai seratus baru belajar tapi jika dibawah lima puluh adalah murid bodoh. Kita tentu ingat kisah Thomas Alfa Edison yang sewaktu ia kecil ditolak oleh para gurunya untuk belajar di sekolah. Penyebabnya hanya ia orang yang bodoh dan dungu kata guru-gurunya. Ia tidak bisa mengikuti standar yang kami berikan kepada Edison sesuai aturan sekolah. Namun, ibunya masih dengan sabar mendidik Edison dari pendidikan keluarga dengan budaya etika, semangat dan motivasi yang tinggi pada Edison. Edison berproses dalam binaan tangan dingin ibunya, bahwa ia adalah orang yang sukses. Lihatlah sekarang kalau bukan karena Edison yang bodoh dan dungu tidak mungkin kita masih bisa melihat malam dengan peneranagan yang indah sampai saat ini.
Standar poin dan ukuran keinginan sebuah lembaga pendidikan terbantahkan jika kita melihat kisah Edison yang dianggap bodoh dan dungu oleh para pendidiknya, Edison terbukti bisa mengubah dunia yang gelap dengan penemuannya. Membiarkan seorang peserta didik dengan hobi dan bakatnya menjadikan seorang peserta didik akan menjadi dirinya sendiri bahwa saya bahagia dengan kegiatan yang saya lakukan bukan kebencian yang ditimbulkan pada pendidikan yang sedang ia jalani.
Seorang peserta didik yang ingin belajar sastra, tetapi lingkungan termasuk orang tuanya, memaksa ia untuk belajar di Fakultas kedokeran. Tentu anak tersebut tidak akan mendapatkan kebahagian yang ia butuhkan. Pendidikan Dokter adalah pendidikan yang bergengsi kamu harus kesitu. Carilah nilai yang tingi disana, jangan buat malu orang tua, itu adalah sikap sebahagian orang tua pada anak-anaknya .Padahal anaknya menyukai sastra, tetapi mesin sosial memaksanya bahwa pendidikan dokter adalah yang terbaik, walaupun ia harus mengubur hobi dan bakatnya di bidang sastra. Kerugian tentu akan hadir pada generasi kita selanjutnya jika pendidikan mesin masih menjadi budaya adopsi kita untuk diterapkan di Indonesia.