Oleh Arifki
Peneliti Muda INTEGRITAS, Padang
Pada awal tahun ini pelbagai media cetak telah menamatkan eksistensinya di peredaran pembaca (baca: gulung tikar). Tulisan Bre Redana, Inikah Senjakala Kami, Kompas, 28 Desember 2015, awal mula perdebatan peran media cetak dengan media dalam jaringan (daring) pada dewasa i ni.
Kritik itu, salah satunya dilontarkan Wisnu Prasetya Utomo Jangan Bersedih, Pak Bre Redana, Mojok.co, 29 Desember 2015. Dalam tulisan ini, Wisnu mengkritik Bre yang menganggab media cetak penggalian informasinya lebih mendalam dibandingkan media online yang umumnya dikelola secara abal-abal.
Jika kita cermati, dialektika antara media cetak dengan online, cepat dan lambatnya pemberitaan yang diberikan. Inilah yang menjadi masalah bagi Bre, kehadiran daring tak memberikan kualitas yang baik terhadap dunia jurnalisme. Pengkarbitan wartawan secara cepat menjadikan kualitas yang diberitakan terkadang hanya berada pada suatu pihak. Hal ini dibantah pengelola daring, kehadiran media online merupakan bentuk “kritik” terhadap keberadaan media cetak yang tak memahami kebutuhan pembaca, terutama banyaknya media-media yang dikendalikan pengusaha dan politisi, niscaya lebih mengedepankan keuntungan dan pengaruh yang didapat pasca berita tersebut diluncurkan tanpa memperhatikan objektifitas berita.
Ditutupnya koran Sinar Harapan, Harian Bola, Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu. Menjadi keresahan pemilik media cetak, terjadinya perubahan daya baca masyarakat yang sebelumnya masih bergantung dengan media cetak. Kehadiran media online, menjadikan pendapatkan media cetak niscaya menurun.
Analisis saya, penyebab media cetak menggali makamnya. Pertama, media cetak selama ini tak bisa memahami kemajuan teknologi. Pemberitaan yang lama, informasi yang ditunggu dulu satu hari sebelum didapatkan pembaca. Dikalahkan dengan media online yang biasa diakses dengan gedget, dilokasi dan posisi manapun secara cepat. Kedua, informasi yang diberikan media cetak, halaman ke halaman koran lebih dominan dengan pemberitaan bisnis atau iklan-iklan tertentu. Yang bagian inilah pembaca terkesan rugi dengan kehadiran media cetak yang miskin pemberitaan yang seharusnya dominan memberitakan informasi yang mereka butuhkan.
Selain keberadan media cetak yang tak secepat media online pemberitaanya, seperti sebelumnya yang diungkpan Bre, media cetak memberitakan informasi secara mendalam dan tajam. Penggalian informasi ke sumber-sumber primer yang mengakar menjadikan informasi yang didapatkan memang lama, tetapi dialetika informasinya bisa kita bandingkan.
Dari pujian yang saya lontarkan terhadap media online, sebagai bukan pemilik media saya juga mengkritik keberadan media online yang tanpa kontrol. Media ini niscaya menjadi barometer isu yang terkadang tak sehat di ruang publik, meskipun pembelaan yang dilakukan untuk klarifiaksi, seperti yang diungkapkan Wisnu. Sayangnya, ruang publik kita tak sehat karena tak adanya dialektika informasi yang memiliki referensi yang kuat. Umumnya, hanya berpatokan kepada curhatan-curhatan satu pihak.
Kelas intelektual yang dibentuk atas keberadaan media online yang tanpa kontrol adalah intelektual mie instan. Intelektual yang segalanya sudah disiapkan orang lain, dan ia hanya memasak secara cepat dan mencicipinya sebagai bentuk kenikmatan, tanpa ada kemauan menggali secara mendalam tentang sumber-sumbernya. Istilah yang digunakan Tarli Nugroho “sarjana kuliner”.
Jika kita menelisik lagi kebelakang, munculnya aturan Hate Speech yang dikeluarkan Kepolisan tak bisa dilepaskan dari pelbagai pemberitaan yang tak bertanggungjawab. Media-media online hanya menjadi alat provokasi politik pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Hasilnya, ruang publik kita niscaya dicemari dengan informasi-informasi yang menjenuhkan tanpa ada klarifikasi yang akurat. Misalnya, media-media online lebih berfokus mempromosikan berita-berita kriminalitas, sex dan berita aneh lainnya. Tujuannya bukan lagi memberikan informasi kepada pembaca, tetapi berapa banyak uang yang didapatkan saat pengguna internet mengklik berita tersebut. Jadi tak aneh, menggunakan internet kita mengklik berita yang sesuai link, saat dibuka beritanya berbeda.
Kemajuan era digital saat ini memang memberikan kemudahan memperoleh informasi dengan cepat, tetapi dengan tepat belum bisa kita benarkan. Karena, harus ada pemilahan dan pemilihan informasi yang sesuai dengan data yang sebenarnya, tanpa ada maksud mengedepankan inforomasi yang cepat tetapi tak bisa dipertanggungjawabkan. Kenyataan seperti, keluhan Bre dan tanggapan Wisnu bukanlah sesuatu yang perlu diperpanjang. Tetapi, saya masih memberikan harapan dan optimisme kepada media (baca: cetak dan online). Media cetak mengonfirmasi data-data yang mendalam tentang peristiwa, yang sebelumnya media online telah beritakan kepada masyarakat tentang fenomena dadakan yang seharusnya cepat seperti, gempa, tsunami, kebakaran dan lain-lain.
Jadi, untuk saat ini bukanlah hal yang tepat memperdebatkan antara media cetak dan online. Terpenting dengan saling menunjukan kualitas masing-masing media (baca: cetak atau online) masyarakat akan tetap lebih memilih media yang dapat dipercaya pemberitaannya dan yang terus melakukan inovasi, sesungguhnya kedua betuk media ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.