Berburu rumah gadang, jadi tamu di ranah Minang
Perjalanan ke ranah Minang kali ini adalah disengajakan untuk berburu rumah gadang, rumah adat Minangkabau yang selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah ini juga digunakan sebagai tempat bermusyawarahnyasatu kaum.
Tempat yang menjadi tujuan adalah Kabupaten Solok Selatan tempat yang dikenal sebagai Negeri 1000 rumah gadang, Ke Batusangkar untuk melihat Istana Pagaruyung yang sudah berulangkali terbakar, dan Padang Panjang.
Rumah Gadang di Kabupaten Solok Selatan
Berbekal harapan yang berubah jadi keyakinan bahwa perburuan tidak akan berakhir sia-sia membuat kami berempat selalu dalam keadaan siaga gembira, meskipun di sebelah hati ada bagian yang terasa teriris begitu mendengar berita Merapi meletus lagi dan awan panas menelan korban, bahkan debunya dikabarkan telah beterbangan ke Jawa Barat, membuat kami harus diam sesaat , dalam tunduk kepala ada doa yang terpanjat, bagi mereka yang kembali kepadaNya dan bagi saudara-saudara lainnya yang terkena cobaan berat, semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan, ketabahan dan perlindungannya bagi kita semua. Amin
Perjalanan ke Solok Selatan yang merupakan wilayah paling selatan dari Sumatera Barat, alhamdulillah berjalan lancar dan aman. Kami berangkat menuju nagari seribu rumah gadang ketika hari telah beranjak ke siang, dan sengaja kami tak mau tau berapa jarak dari padang ke muara labuh,sehingga membuat kami tak perlu menghitung-hitung berapa lama waktu tempuh untuk sampai kesitu, toh ada pak An yang setia sejak hari pertama, mengantar kami kemana-mana (padahal kami tahu bahwa jarak tempat tujuan kami dari pusat provinsi ada kira-kira 150 km). Jadi perjalanan yang berliku kami lakukan dengan santai dan tak tak terburu-buru, setiap kali mata kami tertambat pada sesuatu yang menarik perhatian, maka mobil akan segera menepi ke pinggir jalan. [related_posts]
Meskipun tujuan utamanya adalah rumah gadang, tetapi pemandangan alam yang asri pun tak luput dari perhatian, kami sempat berhenti untuk berfotoria di danau Kembar yang terletak di Alahan Panjang. Danau diatas dan danau di bawah, yang udaranya sungguh sejuk nian, dingin bahkan (tentang ini akan diceritakan kemudian)
Sepanjang perjalanan banyak rumah khas Minang yang kami temukan, atap bergonjong dari bahan seng tebal (sudah jarang yang beratap rumbia), rata-rata berdinding papan tanpa ukiran. Tetapi adapula rumahgadang berukir, biasanya kalau ketemu rumah itu, mobil menepi dipinggir,kami turun untuk mampir.
Rumah pertama yang kami kunjungi adalah rumah gadang baru milik suku Balai Mansiang dimana BrigjenTNI (purn) H Armein Ahmad menjadi Datuk yang bergelar Datuk Nan Bakupiah. Beliau dulu pernah menjadi duta besar di Rusia dan saat ini bertempat tinggal di Bandung dan Jakarta. Dengan mengucap salam pembuka Assalamualaikum aku menyapa orang yang tinggal di rumah sehalaman dengan rumah gadang ini, dan tanpa basa-basi, aku minta izin untuk boleh memfoto rumah ini, dan mereka menyambut maksud kami dengan sangat ramah, bahkan mereka mengajak singgah dan disuguhi minuman pula. Sambil bercakap-cakap kami dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah gadang yang dipergunakan kaum untuk berbagai keperluan.
Bagian bawah rumah belum sepenuhnya jadi, menurut Ibu Emi, adik dari bp Armein, bagian bawah dari rumah gadang ini nantinya akan digunakan untuk pengajian.
Puas bercerita dan melihat-lihat rumah gadang ini, bu emy memberitahu bahwa sebelum sampai ke rumah gadang ini, ada rumah gadang yang merupakan istana Rajo Balun, ada di sebelah kanan jalan yang terlewat oleh kami, dengan demikian perjalanan kami balik lagi ke belakang, menuju tempat yang beliau tunjukan.
Istana Rajo Balun
Rumah gadang ini terletak di Jorong Balun, kecamatan Koto Parik Gadang diateh. Di rumah ini kami disambut oleh Uda Al dan Ibu Puti Ros Dewi yang tinggal di rumah ini. Menurut penuturan Ibu Ros, rumah gadang ini sudah berumur 600 tahun dan pernah terbakar pada zaman Belanda dulu, dan pada zaman Jepang Rangkiangnya pun pernah terbakar.
Didalam rumah ini terdapat naskah kuno dan perlengkapan penobatan raja yang masih terawat dengan baik.
Rumah gadang ini memiliki 24 tonggak yang sesuai dengan suku mereka Kampai nan Duo puluh ampek, 4 tonggak diantaranya masih orisinil yang ditandai dengan dibungkus kain berwarna kuning.
Ada dua anjungan di kiri dan kanan yang memiliki 3 anak tangga, dan dekat anjungan terdapat kamar. Kamar yang terdapat di anjuang sebelah kanan pintu masuk didiami oleh Puti Ros Dewi Balun, dan kamar lainnya menjadi percontohan kamar pengantin.
Penerimaan mereka terhadap kedatangan kami sungguh sangat bersahabat dan menganggap kami layaknya saudara yang pulang dari rantau. Ibu Ros bahkan menawarkan kami untuk bermalam disana supaya bisa bercerita lebih banyak mengenai rumah ini, tetapi karena masih ada lagi yang harus kami kunjungi, maka kami berjanji suatu saat akan kembali dan pasti menginap disini.
Setelah puas bercerita kesana sini, mendengar cerita Rajo Nan Ampek, kamipun pamit, dan sebelumnya tentu saja kami bertukar nomor telephon supaya silaturahmi yang baru terbina bisa berlanjut pula.
Perjalanan kami lanjutkan ke Koto Baru, ke perkampungan 1000 rumah gadang
Rumah Gadang di Nagari Seribu rumah gadang
Masuk perkampungan 1000 rumah gadang membuat kami terkagum-kagum, begitu banyaknya rumah gadang disini dengan jarak yang sangat berdekatan, dengan berbagai macam ragam bentuknya. Rumah-rumah tersebut walaupun sudah tampak tua, tetapi masih berpenghuni. Kami singgah di rumah Gadang milik suku Tigolareh, aku menyebutnya rumah gadang mama Rayhan. Rumah Gadang yang bernama Batam Murni ini pernah dilakukan renovasi pada Maret 1995.
Seperti biasa kami disambut baik oleh pemilik rumah dan diperbolehkan naik keatas rumah untuk mengambil foto sesuka hati.
Selesai dari situ kami terus berjalan ke lokasi lebih dalam lagi di perkampungan tersebut dan sampai pula pada rumah gadang berukir lainnya, ada seorang nenek di depan rumah. Aku menyapanya, mengucap salam dan mencium tangan, berbincang sebentar, lalu percakapan di halaman dilanjutkan ke dalam rumah. Disini kami menghabiskan waktu agak lebih lama mendengar nenek Nurbaya (nama beliau) bercerita panjang mengenai rumah ini dan cerita tentang kisah raja-raja. Cerita semakin asyikdan hangat apalagi kami disuguhi teh manis nan nikmat. Beliau saat ini tinggal di rumah tersebut ditemani oleh dua orang cucunya, suami beliau Dahnial St Pamuntjak telah meninggal dunia. Nenek Siti Nurbaya berasal dari Suku Malayu.
Nenek Nurbaya meski mesti mengingat-ingat cerita mengenai kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu masih mampu menceritakan kepada kami tentang Raja Nan ampek seperti yang kami dengar di Istana Balun, bahwa di kerajaan ini terdapat raja yang mempunyai fungsi dan kewenangan yang berbeda, mereka adalah:
1.Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah (Rajo Daulat/Rajo Alam).
2.Tuanku Rajo Bagindo ( Rajo adat).
3.Tuanku Rajo Malenggang
4.Tuanku Rajo Batuah
Hari telah semakin senja membuat kami harus mengakhiri pertemuan yang demikian berarti dengan nenek Nurbaya meski sebenarnya masih banyak kisah yang ingin sekali kami dengar darinya. Kamipun mohon diri pulang, kembali ke Padang. Tertunda pula Rencana mengunjungi Rumah Gadang 24 ruang .
Tapi itu akan menjadi alasan untuk kami kembali lagi, nanti….