oleh : Sefniwati
Banjir dan longsor pada awal bulan lalu di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota menelan korban jiwa sebanyak 7 orang dan perkiraan kerugian oleh bencana tersebut mencapai 17 Milyar Rupiah. Ketika bencana terjadi semua pihak saling tuding menuding, saling salah menyalahkan dimana tidak akan memberikan solusi terhadap permasalahan yang sebenarnya. Bahwa ada yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam, sehingga menimbulkan dampak negatif yang begitu besar serta merugikan masyarakat.
Digagasnya diskusi publik oleh pihak Pasca Sarjana Universitas Andalas yang mencoba menghadirkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan Daerah Tangakapan Air (DTA) Waduk PLTA Koto Panjang pada hari jum’at tanggal 17 Maret 2017 lalu, menjadi momentum besar untuk meminimalisir konflik kepentingan yang ada untuk menghasilkan solusi dan rencana strategis kedepannya dalam pengelolaan DTA.
Melihat dari beragamnya peserta yang hadir serta jumlah peserta yang mencapai lebih dari 100 orang menandakan bahwa kesadaran masing-masing pihak sangat tinggi, tidak hanya dari mahasiswa dan dosen selaku akademisi, pihak swasta, pihak pemerintahan, LSM/NGO dan tokoh masyarakat juga ikut serta bergotong-royong bersama-sama mencari solusi terhadap masalah ini. Menarik sekali pemaparan dari pemateri yang hadir yaitu Bapak Prof. Bujang Rusman (Ahli Pengelolaan DAS dari Unand), memaparkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan di pangkalan dan menemukan bahwa kadar air dalam tanah sebesar 56%.
Bapak Ir. Hendri Octavia (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat) memperlihatkan video kondisi terkini lokasi bencana yang dimabil menggunakan drone, terlihat sangat jelas pada video tersebut aktifitas tambang berada tepat diatas lokasi longsor. Bapak Yusminan Siregar (PLN Koto Panjang) menjelaskan bagaimana PLN beroperasi dan kemampuan minumum serta kemampuan maksimum yang dapat dihasilkan oleh PLTA Koto Panjang, sehingga memberikan informasi kepada peserta bahwa lingkup areal kerja PLTA hanya disekitar waduk, sehingga daerah yang berada diluar wilayah waduk tidak menjadi bagian perencanaan pengelolaan.
Kasus DTA PLTA Waduk Koto Panjang secara teoritis sudah patut dikelola secara integrated karena berkarakteristik lintas sektoral, antar-wilayah, multidisplin dan open resource. Dikatakan lintas sectoral karena tidak hanya PLN saja yang menggunakan DTA untuk penyediaan listrik, tetapi juga ada BPDAS yang memiliki tanggungjawab untuk mengelola DTA. Tidak hanya itu BKSDA dan Dinas Kehutanan juga memiliki tanggung jawab dalam hal ini karena DTA termasuk kedalam wilayah kelola kedua instansi tersebut.
Terlepas dari hal itu masyarakat atau publik juga memanfaatkan DTA tersebut sebagai sumber matapencaharian karena DTA merupakan common pool resource artinya dapat diaskses dan dimanfaatkan oleh siapa saja. DTA ini berada di dua provinsi (Sumbar dan Riau), di dua Kabupaten (Kampar dan Limapuluh Kota) sehingga dalam perencanaan kelola sumberdaya alam ini perlu perhatian dari pusat.
Untuk melihat pokok permasalahan serta penyelesaian dari kasus DTA ini tidak dapat selesai jika hanya melihat dari sudut pandang ilmu ekonomi saja, atau pertanian saja, atau tambang saja, namun harus melihat persoalan tersebut dari semua bidang ilmu agar solusi yang dihasilkan merupakan sinergi multipihak sehingga permasalah yang ada pada DTA dapat terselesaikan. Upaya-upaya sinergi tersebut tertuang dalam hasil diskusi publik yaitu, moratorium tambang galian C dan tambang batubara, program-program peningkatan ekonomi masyarakat, PLTA dapat menyelesaikan janjinya mengontrol sprilway dan pelebaran sungai, mengaktifkan institusi multipihak dari bawah hingga pusat dan membuat early warning system.
Kelima poin diatas merupakan tindak lanjut kongkrit yang dapat direalisasikan dalam waktu dekat menyikapi penyelamatan masyarakat dan DTA Waduk PLTA Koto Panjang.
*Sefniwati, Mahasiswi S2 Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam Universitas Andalas.