Oleh : Ofis Ricardo
Suksesi politik seperti Pilkada merupakan siklus lima tahunan evaluasi pemerintahan. Baik itu evaluasi terhadap kepala daerah yang berkuasa maupun evaluasi terhadap partai pendukungnya. Bila diibaratkan dengan seseorang yang sedang menempuh pendidikan maka ujian sebagai instrumen terpenting mengevaluasi capaian selama mengikuti pendidikan.
Begitu pula dalam Pilkada, pemerintahan yang telah berjalan dievaluasi oleh rakyat dan kemudian memberikan penilaiannya untuk menentukan pilihannya untuk Pilkada yang akan diselenggarakan.
Memasuki era reformasi terjadi perubahan mendasar pada konsepsi sistem pemilihan itu sendiri. Era reformasi yang merupakan pergolakan perubahan di segala bidang kehidupan berbangsa bernegara juga tak terkecuali mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari sistem pemilihan tidak langsung menjadi langsung. Dengan diberlakukannya sistem demokrasi langsung ini maka tak pelak membuat suara rakyat sebagai penentu utama dalam Pilkada.
Akar dari demokrasi itu sendiri ialah menjadikan rakyat sebagai penentu utama dari kebijakan maupun dalam pengisian pejabat publik. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi dapat dimaknai sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Bila melihat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hal ini sejalan dengan cara melakukan pemilihan kepala daerah secara demokratis.
Walaupun dalam konstitusi makna demokratis tidak selalu diartikan sebagai pemilihan langsung. Bila suatu ketika UU menghendaki menjadi pemilihan tidak langsung hal ini pun harus dianggap sama-sama demokratisnya dengan pemilihan langsung.
Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science menyatakan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyaknya langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh pejabat itu. Definisi ini memberikan pemahaman bahwa warga negara memiliki hak penuh untuk menentukan pejabat negara yang akan duduk di pemerintahan.
Bila membandingkan hal ini dengan negara-negara otoritarian dan totaliter memang sangat bertolak belakang, pergantian pejabat ditentutan oleh sekelompok orang saja. Kelompok orang yang menentukan itu bersifat oligarkis dan berpuncak ditangan satu orang. Namun hal ini sangat berbeda dengan negara-negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia dimana rakyat sebagai penentu utama pejabat yang duduk di pemerintahan.
Pilkada Sebelum Era Reformasi
Sangat berbeda dengan kondisi Indonesia sebelum era reformasi. Pada masa awal kemerdekaan, PPKI membagi Indonesia menjadi delapan provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil yang dipimpin oleh seorang gubernur. Kemudian provinsi tersebut dibagi dalam kerasidenan yang dikepalai oleh seorang residen.
Lalu disahkanlah UU Nomor 1 Tahun 1945 yang menjadi pedoman dalam pemerintahan daerah. Berdasarkan UU ini dibentuklah Komite Nasional Daerah (KND). KND bertugas menjadi badan perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan memilih sebanyak-banyaknya lima orang sebagai sebagai badan eksekutif yang bersama-sama gubernur menjalankan pemerintahan.
Di masa orde baru memiliki sistem yang diterapakan berbeda lagi. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 menerapkan kepala daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang. Hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua orang untuk diangkat salah satu diantaranya.
Sedangkan untuk Kepala Daerah tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang yang telah dimusyawarahkan bersama gubernur. Kemudian hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri yang sedikit-dikitnya dipilih dua orang untuk diangkat salah satu diantaranya.
Memasuki era reformasi Pilkada dilakukan oleh DPRD baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Namun dengan perkembangan tuntutan publik terjadi perubahan sangat fundamental terjadi menjadi pemilihan langsung oleh rakyat berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Ide besar mengubah subyek pemilih Pilkada dari DPRD kepada rakyat itu ialah untuk menghilangkan politik dagang sapi yang terjadi di DPRD. DPRD dituding sebagai lembaga yang kerap kali melakukan korupsi dalam proses pemilihan kepala daerah.
Namun, pelaksanaan Pilkada langsung yang sesuai keinginan rakyat pun bukan tanpa masalah. Sejumlah permasalahan pun muncul diantaranya ialah rentan terjadi konflik horizontal di masyarakat, penyelenggara Pemilu yang tidak netral, para pihak tidak dapat menerima kekalahan sehingga 90 persen Pilkada berujung di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan sebanyak 310 kepala daerah terjerat kasus hukum dimana 80 persennya ialah kasus korupsi. Cost politik Pilkada yang mahal dituding sebagai penyebab calon kepala daerah bertindak koruptif untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan selama Pilkada
Permasalahan Pilkada Serentak
Pada akhir tahun ini lebih dari setengah kabupaten/kota di Indonesia akan menghelat Pilkada serentak. Berdasarkan data Kemendagri daerah yang mengikuti Pilkada serentak tahap pertama ini meliputi 9 provinsi, 237 kabupaten, dan 40 kota. Jumlah total mencakup 286 daerah, yang merupakan 52,2 persen dari jumlah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
Pilkada serentak yang didasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 2015 memiliki beberapa keunggulan diantaranya ialah terciptanya sinergi perencanaan pembangungan antara pusat dan daerah, rakyat tidak perlu berulang kali untuk melaksanakan Pilkada, serta efisiensi biaya dan waktu.
Namun begitu, Pilkada serentak tetap menyisakan sejumlah masalah yang lebih besar daripada Pilkada sebelumnya. Pertama, Pilkada serentak tentu akan menjadi perhatian skala nasional. Apabila terjadi konflik horizontal yang bersamaan maka itu mengancam stabilitas nasional dan dalam penanganan membutuhkan sumber daya yang besar.
Kedua, politik uang akan tetap terjadi dalam Pilkada serentak ini bahkan diprediksi lebih marak. Dalam Pilkada yang pernah dilaksanakan sebelumnya hampir di semua Pilkada terjadi politik uang. Politik uang ini bertentangan dengan tujuan dari Pilkada itu sendiri memilih pemimpin sesuai kehendak rakyat. Dengan politik uang ini partisipasi rakyat menjadi berubah karena adanya pengaruh dan intimidasi dari kontestan yang sedang bertarung.
Politik uang ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran politik masyarakat dan masih banyaknya rakyat miskin yang menjadi sasaran politik uang. Hal ini menuntut kerja ekstra keras dari aparat penegak hukum untuk dapat mencegah terjadinya politik uang yang lebih masif.
Ketiga, independensi penyelenggara Pemilu sebagai hal yang penting. Sepanjang tahun 2013 saja telah ada 141 perkara yang disidangkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan rincian 112 mendapat teguran tertulis, pemberhentian sementara sebanyak 13 dan pemberhentian tetap alias dipecat sebanyak 86 anggota.
Jadi memang penyelenggara Pilkada (KPU-Bawaslu) sangat rentan untuk disusupi oleh kepentingan politik untuk bersikap tidak independen. Disisi lain netralitas serta indendensi penyelenggara pilkada sebagai syarat mutlak dari lahirnya pemerintahan yang demokratis dan berwibawa.
Keempat, Pilkada serentak ini memiliki workload yang sangat tinggi. Kontestan yang tidak puas dengan hasil Pilkada akan banyak melakukan pengaduan etik kepada DKPP maupun gugatan sengketa hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh Karena itu, lembaga pengadil MK dan DKPP untuk dapat bekerja secara professional untuk berperan sesuai tanggung jawab masing-masing.
Selama Pilkada langsung digelar, sekitar 90 persen Pilkada berujung di MK. Ini dikarenakan kandidat, elit lokal, dan pendukung yang tidak dewasa dalam berpolitik. Sehingga tidak menerima kekalahan dan menjadikan MK sebagai pintu terakhir untuk meraih kemenangan.
Pada Pilkada serentak ini UU hanya memberikan tenggat waktu selama 45 hari untuk menyelesaikan sengketa Pilkada di MK. Ini waktu yang sangkat singkat bagi MK untuk memutus sengketa Pilkada serentak. Potensi terjadinya gugatan di MK sebanyak jumlah daerah yang menggelar Pilkada di tahun ini. Di sini dituntut kerja ekstra keras bagi hakim MK untuk dapat memutus seadil-adilnya demi terwujudnya demokrasi yang berwibawa.
Begitu pula dengan DKPP. DKPP sebagai dewan penegak etik yang menggunakan Pancasila serta UUD 1945 sebagai sumber etik dalam mengadili penyelenggara Pilkada untuk dapat memberikan sanksi tegas kepada penyelenggara Pilkada yang melanggar etik. Oleh karena itu, kedua lembaga pengadil ini harus cermat dalam menjalankan perannya sebagaimana telah diamanahkan UU agar keabsahan berdemokrasi tidak dirusak oleh sekelompok orang yang ingin merusak suksesi politik ini.
Mengawal Demokrasi
Konstitusi telah menjamin bahwa pemilihan kepala daerah langsung yang diselenggarakan secara serentak merupakan sebagai proses pemilihan yang demokratis. Disisi lain tujuan dari pemilihan kepala daerah ialah melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Oleh karena itu, Pilkada yang dilaksanakan harus menjamin dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dan hak asasi warga negara itu sendiri.
Suatu pemilu akan diakui keabsahannya (legitimate) apabila memenuhi tiga syarat integritas. Pertama, integritas pada proses tahapan-tahapan Pemilu. Kedua, integritas pada hasil-hasil Pemilu. Dan ketiga, integritas proses dan hasil sangat tergantung pula pada bagaimana integritas para pelaksana di lapangan atau penyelenggara Pemilu nya.
Kunci membangun demokrasi yang berintegritas ialah penyelenggaraan pemilihan jabatan politik yang berkualitas. Bukan sekedar pemilihan yang bersifat formalistik dan prosedural formal belaka. Sehingga semua pihak baik penyelenggara Pemilu, kontestan, partai politik, serta pendukung harus bersama-sama mengawal jalannya Pilkada agar tidak terjadi kecurangan serta penyalahgunaan hak yang dapat merusak jalannya Pilkada.
Terselenggaranya Pilkada yang langsung umum bebas rahasia jujur dan adil paralel dengan semangat untuk menjaga kedaulatan rakyat dan hak asasi warga negara. Sebagaimana dikatakan Robert Dahl bahwa yang menjadi syarat yang perlu untuk demokrasi yakni adanya hak pemberian suara, adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara, serta adanya Pemilu yang bebas dan adil.
Pada akhirnya mengawal Pilkada adalah mengawal demokrasi. Mengawal semua tahapan Pilkada demi terciptanya Pilkada langsung umum bebas rahasia jujur dan adil seperti yang dicita-citakan sejatinya merupakan sebagai usaha untuk mengawal demokrasi juga. Sehingga cita-cita untuk menjaga keadaulatan rakyat dan pelaksanaan hak asasi warga negara bukan lah angan-angan namun dapat terealisasi dalam Pilkada sebagai peralihan kekuasaan dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Penulis Adalah Peneliti Society Research and Humanity Development Institute | bisa ditemui di akun twitter @ofisricardo