Banyak pasangan suami-istri mendambakan tuk miliki keturunan yang sehat, sholeh/sholehah, dan berprestasi cemerlang. Sebagian tak butuh waktu panjang untuk dapatkan momongan, sebagian yang lain perlu usaha tambahan untuk dapatkan keturunan.
Seperti apapun penantiannya, kehadiran sang buah hati selalu menambah keceriaan di rumah. Anak seolah menjadi jembatan kebahagiaan. Lewat merekalah orang tua dapatkan kebahagiaan yang didambakan.
Sayangnya, kegembiraan yang muncul di hari-hari pertama kehadirannya tak bertahan lama. Seiring waktu, keletihan mulai membayang-bayangi dalam keseharian papi-mami, selimut kehangatan berubah menjadi kegerahan.
Jembatan itu sekarang berubah sebagai dinding penghalang kebahagiaan. Keluhan demi keluhan bermunculan semakin menguatkan betapa sulitnya dapatkan kebahagiaan.
Tiba-tiba timbul kerinduan pada keadaan seperti dulu sewaktu belum ‘terganggu’ oleh tangisan bayi, rutinitas memandikan pagi – petang, mengganti popok, siapkan makanan, hingga keletihan-keletihan yang berhubungan dengan kesehatan. Anak menjadi beban sekaligus hambatan untuk menggapai kebahagiaan.
Lalu sadar ataupun tidak, atas keadaan yang tak terkendali dari hari ke hari mulai keluar kata-kata excuse.
“Maaf ya saya terlambat karena ngurusin si kecil dulu”.
“Hoam…ngantuk banget nih semalem lembur ngurusin si dedek”.
“Sorry ya, saya ga maksimal menyelesaikan tugasnya, semalem si kecil rewel”.
“Hmm jadi ga bisa menikmati saat berduaan dengan suami/istri lagi nih, ada si kecil yang minta perhatian”.
Mungkin kata-kata yang muncul tidak seekstrim contoh-contoh di atas, tapi setidaknya kalimat yang semisal dengan itu pernah terdengar baik dari penuturan orang tua secara langsung ataupun terbaca dari status teman-teman di media online.
Bahkan ada juga yang (seolah) mengeluh karena karir terhambat atau malah terhenti karena harus mengurusi si buah hati yang dulunya (pernah) dinanti-nanti.
Pertanyaannya sekarang – sebagai pembelajaran buat kita semua – kenapa ada orang yang ‘merasa’ anak sebagai penghalang bagi kesuksesan ataupun kegembiraan di tengah keluarga?
Beberapa orang coba mengabaikan ‘ketidaksenangannya’ dengan kondisi yang ada. Yang terjadi adalah dia menyimpan api dalam sekam yang suatu ketika berubah menjadi bara api yang membakar segalanya.
Satu jawaban yang sering saya sampaikan ketika mendapatkan pertanyaan seperti di atas baik saat talkshow “Inspirasi Keluarga” di sebuah radio swasta di Padang, ataupun saat sesi tanya jawab dalam kelas-kelas parenting juga dalam seminar tentang pengasuhan anak adalah bahwa kebanyakan pasangan menjadi orang tua tanpa memiliki ilmunya.
Coba perhatikan teman-teman kita yang bekerja di dunia perbankan, mereka bekerja tak lebih dari 10 jam / hari, 5 hari dalam seminggu, ada libur, ada cuti, ada juga tanggal merah. Tidak hanya mereka dituntut memiliki kualifikasi pendidikan yang tepat mereka juga dituntut memiliki ketrampilan tambahan.
Sebelum resmi bekerja mereka juga harus masuk kelas pelatihan dan mengikuti periode magang. Setelah bekerja pun mereka selalu diupgrade.
Nah…bagaimana dengan mereka yang menjadi orang tua? Berapa lama jam kerja orang tua dalam sehari? Adakah libur ataupun cuti? Lalu apa kualifikasi pendidikannya? Skill tambahan seperti apa yang dimiliki? Kapan ikut kelas pelatihannya? Dimana dan dengan siapa menjalani proses magangnya? Dan kapan terakhir UpGradingnya?
Demikianlah kenyataan yang ada saat ini, sebagian besar orang tua mengasuh anaknya dengan ilmu dan keterampilan parenting yang terbatas.
Akhirnya ada kecenderungan untuk mengulang pola asuh sebagaimana mereka pernah alami. Bila cara yang dilakukan tak mendapatkan hasil yang diharapkan mulailah mencari kesalahan lingkungan dan zaman.
Padahal kita tidak mungkin menyelesaikan masalah terkini dengan pola pikir masa lalu, karena itu menjadi orang tua haruslah dengan ilmu.
So, mari terus menambah ilmu parenting dan terus upgrade diri agar miliki cukup skill untuk mewujudkan impian kebahagiaan yang didambakan.
Dengan ilmu kita kan dapatkan kebenaran bahwa anak merupakan jembatan untuk meniti perjalanan penuh kebahagiaan di dunia menuju kebahagiaan abadi di akhirat nanti.
Dengan ilmu jualah kemudian timbul kesadaran betapa kesyukuran menjadi syarat utama keberhasilan pengasuhan.
“Teruslah belajar dan berlatih walau letih harus tertatih.”
[divider]
Artikel ini di tulis oleh :
Hasbi, SS, MEdm, twitter @HasbiParenting. Dikenal sebagai Family Coach & Parenting Expert dan berpengalaman dalam mengisi training dan seminar parenting di berbagai ibukota propinsi di Indonesia. Beliau memiliki lisensi Neuro Linguistics Programming dari NLP Society – Amerika Serikat dan sertifikasi Hypnotherapy dari Indonesia Board of Hypnotherapy – Lembaga Sertifikasi Hypnoterapi terkemuka di Indonesia. Menamatkan Master of Education dari Universitas ternama di Australia tahun 2004.